Intisari-online.com - Pangeran Diponegoro adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia yang memimpin perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-19.
Ia lahir pada tahun 1785 sebagai putra dari Sultan Hamengkubuwono III dari Kerajaan Mataram.
Ia dikenal sebagai pribadi yang religius, cerdas, dan ahli hukum Islam-Jawa.
Ia juga lebih tertarik pada masalah-masalah keagamaan daripada masalah pemerintahan keraton.
Perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda dipicu oleh beberapa faktor, antara lain:
Kebijakan tanah Belanda yang merugikan para bangsawan Jawa, pertentangan politik dalam keraton yang melibatkan kepentingan pribadi.
Beban pajak yang berlebihan bagi rakyat, dan penghinaan terhadap makam leluhurnya oleh Belanda.
Pada tahun 1825, ia menyatakan perang terhadap Belanda dan memimpin perang gerilya yang berlangsung selama lima tahun.
Perang gerilya adalah strategi perang yang dilakukan dengan cara melakukan pengelabuan, serangan kilat, dan pengepungan tak terlihat.
Pangeran Diponegoro memanfaatkan keadaan geografis Jawa yang berbukit-bukit dan berhutan untuk menyembunyikan pasukannya dan menghindari pertempuran langsung dengan Belanda.
Ia juga mendapat dukungan dari rakyat dan elit agama yang menganggap perjuangannya sebagai ratu adil (raja adil) dan jihad (perang suci).
Baca Juga: Perang Badar: Inspirasi Umat Muslim Indonesia Melawan Agresi Militer Belanda Pada Bulan Ramadhan
Perang gerilya Pangeran Diponegoro berhasil menggoyahkan kekuasaan Belanda di Jawa.
Strategi dan taktik perang gerilya Pangeran Diponegoro
Pengelabuan: mengelabui musuh dengan cara menyamar, menyebarkan isu-isu palsu, atau melakukan serangan mendadak.
Serangan kilat: melakukan serangan cepat dan mendadak terhadap pos-pos atau pasukan musuh dengan cara menyerbu, menembaki, atau meledakkan.
Pengepungan tak terlihat: melakukan pengepungan terhadap wilayah musuh dengan cara memotong jalur komunikasi, transportasi, atau pasokan.
Memanfaatkan keadaan geografis Jawa.
Dampak dan akhir perang gerilya Pangeran Diponegoro
Dampak bagi Belanda: mengalami kerugian jiwa dan materi yang besar, kehilangan kepercayaan dari rakyat Jawa, mengubah sistem pemerintahan menjadi lebih sentralisasi dan liberal.
Dampak bagi Jawa: mengalami korban jiwa dan penderitaan yang besar, kehilangan tokoh perlawanan yang berpengaruh, mengalami perubahan sosial dan ekonomi akibat perang.
Perang ini menelan korban jiwa terbanyak dalam sejarah Indonesia, yakni 8.000 tentara Belanda, 7.000 pribumi, dan 200 ribu orang Jawa.
Perang ini juga menyebabkan kerugian materi sebesar 25 juta Gulden bagi Belanda.
Baca Juga: Soekarno dan Kennedy: Dua Pemimpin Karismatik yang Membangun Persahabatan di Tengah Perang Dingin
Perang ini berakhir pada tahun 1830, ketika Pangeran Diponegoro ditipu dan ditangkap oleh Belanda saat hendak berdamai.
Ia kemudian dibuang ke Makassar hingga akhir hayatnya 1855.
Perjuangan Pangeran Diponegoro menjadi inspirasi bagi generasi penerus yang berjuang melawan penjajahan Belanda.
Ia dihormati sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia dan tokoh inspiratif yang menolak tahta dan memilih berjuang untuk rakyatnya.