Intisari-Online.com -Gunung Semeru kembali menunjukkan aktivitas vulkaniknya dengan meluncurkan lava pijar pada Jumat (24/3/2023).
Gunung tertinggi di Pulau Jawa ini memang dikenal sebagai salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia.
Namun, selain fenomena alamnya, Gunung Semeru juga memiliki kisah mitologi yang menarik dan mengagumkan.
Apa saja mitologi Gunung Semeru yang konon menjadi paku yang menyambungkan Pulau Jawa? Simak ulasan berikut ini.
Luncurkan lava pijar
Pada Jumat malam (24/3/2023), lava pijar mengalir sepanjang dua kilometer dari puncak kawah Jonggring Saloko di Gunung Semeru ke arah Besuk Kobokan.
Sigit Rian Alfian, petugas pos pantau gunung api (PPGA) Semeru, menginformasikan bahwa antara pukul 18.00 - 00.00 WIB, terjadi tiga kali guguran lava pijar dengan jarak luncur antara 1.000 - 2.000 meter.
Dia juga menyebutkan bahwa asap putih kelabu terlihat sebanyak 17 kali dengan tinggi 300 - 500 meter dari puncak.
“Teramati tiga guguran lava pijar jarak luncur 1.000 - 2.000 meter mengarah ke tenggara,” ujarnya di Lumajang, Sabtu (25/3/2023), seperti dilansir dari kompas.com, Sabtu (25/3/2023).
Seismograf mencatat adanya 17 kali gempa letusan dengan amplitudo 12 - 22 milimeter dalam periode pengamatan tersebut.
Baca Juga: Erupsi Gunung Semeru: Arti Mimpi Melihat Gunung Api Meletus Menurut Primbon Jawa
Sigit menambahkan bahwa status Gunung Semeru masih level III (Siaga) meskipun aktivitas vulkanik terus berlangsung setiap hari.
“Tingkat aktivitas Gunung Semeru hingga saat ini masih level 3 atau Siaga,” katanya.
Sementara itu, Wawan Hadi Siswoyo, Kepala Bidang Pencegahan, Kesiapsiagaan, dan Logistik BPBD Kabupaten Lumajang, mengatakan bahwa luncuran lava pijar yang cukup panjang itu tidak berdampak langsung.
Namun, dia menghimbau masyarakat untuk tetap waspada karena material tampak menumpuk di puncak Semeru.
Legenda Gunung Semeru sebagai Paku Pulau Jawa
Menurut kitab kuno Tantu Pagelaran yang diyakini berasal dari abad ke-15, suatu kala Pulau Jawa terombang-ambing di atas lautan.
Batara Guru, penguasa tunggal, meminta para dewa dan raksasa untuk memindahkan Gunung Mahameru di India sebagai paku pada Pulau Jawa agar tidak bergerak.
Gunung Mahameru kemudian diletakkan di barat Pulau Jawa. Namun, karena bagian timur pulau ini terjungkit ke atas, akhirnya Gunung Mahameru dipindahkan ke timur.
Dalam perjalanan pemindahan ini, Gunung Mahameru tercecer dan membentuk gunung-gunung lainnya di Pulau Jawa.
Ketika Gunung Mahameru berhasil diletakkan di sebelah timur Pulau Jawa, posisinya miring ke arah utara.
Sehingga, dikisahkan ujung gunung tersebut dipotong dan potongannya itu diletakkan di barat laut.
Baca Juga: Kini Statusnya Jadi Awas, Begini Sejarah Pendakian Pertama Gunung Semeru
Potongan gunung tersebut diberi nama Gunung Pawitra yang kini dikenal sebagai Gunung Penanggungan.
Gunung Mahameru yang menjadi paku Pulau Jawa inilah yang kemudian disebut sebagai Gunung Semeru.
Nama Semeru berasal dari kata Sumeru, yang merupakan nama lain dari Gunung Mahameru dalam mitologi Hindu-Buddha.
Dalam kepercayaan masyarakat Bali, Gunung Semeru diyakini adalah napak dari Gunung Agung yang ada di Bali1.
Sejarah Pendakian dan Letusan Gunung Semeru
Gunung Semeru merupakan salah satu gunung berapi aktif di Indonesia. Letusan pertama kali tercatat pada 8 November 1818.
Berpuluh-puluh aktivitas letusan kemudian berlanjut hingga saat ini. Letusan terakhir terjadi pada akhir 2020 hingga Januari 2021.
Letusan Gunung Semeru biasanya ditandai dengan awan panas dan lontaran material vulkanik yang mencapai ketinggian hingga 600 meter.
Pendaki pertama yang berhasil mencapai puncak Gunung Semeru adalah ahli geologi dari Belanda bernama Clignet pada tahun 1838. Dia mendaki dari arah barat daya melalui pintu Widodaren.
Selanjutnya, pada tahun 1911 Van Gogh dan Heim juga mendaki, tapi melalui lereng utara. Pada tahun 1945, ada seorang ahli botani Belanda yang mendaki melalui jalur utara, yaitu Ayek-ayek, Inder-inder, dan Kepolo.
Pasca pendakian pada tahun 1945 tersebut, pendakian ke Gunung Semeru pada umumnya dilakukan dari arah utara melalui Ranu Pani dan Ranu Kumbolo, seperti yang dilakukan saat ini.