Intisari-Online.com- Coba Anda perhatikan tempat tinggal kalian, apakah memiliki tradisi serupa seperti tradisi Sasi?
Jika iya, jelaskan bagaimana sejarahnya, bagaimana tradisi tersebut dapat menjadi norma dan dampaknya bagi masyarakat di tempat kalian?
Perlu Anda ketahui, pertanyaan ini hanya bisa dijawab sesuai dengan daerah tempat tinggal masing-masing.
Terlepas dari itu, pada mulanya adat sasi dilakukan oleh raja-raja Maluku pada zaman sebelum kemerdekaan.
Tradisi ini sekaligus mencerminkannilai-nilai kemaritiman tersebar di beberapa wilayah Indonesia bagian timur khususnya di Pulau Seram dan Pulau Haruku di Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku.
Sejarah tradisi Sasi diyakini telah berlangsung sejak dahulu kala yang dilakukan antara masyarakat adat/kampung, kepala adat, dan tokoh masyarakat.
Namun tak hanya di Maluku, tradisi serupa juga ada di Sumatera Barat dan Papua.
Bagaimana tradisi tersebut dapat menjadi norma dan dampaknya bagi masyarakat?
1. Tradisi Mencokau, Lubung Larangan
Lubuk larangan terdapat di Batang (Sungai) Kapur, secara administratif wilayah tersebut berada di Nagari Sialang, Kecamatan Kapur IX, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat.
Baca Juga: Simak Selengkapnya Penjelasan Tantangan Tradisi Sasi pada Masa Kini
Di Lubuk Larang telah dikenal sebagai kawasan yang disepakati terlarang untuk mengambil ikan dengan segala cara yang dapat merusak lingkungan.
Larang tersebut tertuang dalam hukum adat yang diperkuat dengan paraturan nagari.
Pemanenan ikan dilakukan setahun sekali dengan kesepakatan antara pengelola nagari tersebut. Biasanya, pembukaan Lubuk Larangan di pada musim kemarau atau menjelang Idul Fitri.
Pembukaan atau pemanenan Lubuk Larangan biasanya dilakukan dengan memasang pagar di sekitar kawasan untuk menempelkan jaring.
Penangkapan ikan hanya diperbolehkan menggunakan alat tradisional, supaya penangkapan ikan tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan.
Sedangkan ikan yang ditangkap minimal di atas 250 gram. Maksudnya, ikan-ikan yang lebih kecil dapat kesempatan menjadi lebih besar dan bertelur.
Masyarakat menggunakan pakaian adat, yaitu baju Taluaok Balango dan celana lebar yang serba hitam.
Ninik mamak turun ke sungai (Lubuk Larangan) untuk melempar jala pertama.
Hasil ikan yang beratnya di bawah 1 kilogram akan dibagi-bagikan kepada masyarakat secara merata, sedangkan hasil tangkapan ikan di atas 1 kilogram akan di lelang.
2. Tradisi Sasi di Papua
Tradisi Sasi merupakan aturan tidak tertulis dalam masyarakat adat yang melarang penangkapan hewan laut dalam kurun waktu tertentu.
Baca Juga: Berikut Solusi untuk Mengatasi Tantangan Tradisi Sasi di Masa Kini
Tradisi ini merupakan cara untuk mendukung kelestarian alam.
Sasi merupakan tradisi secara turun-temurun yang konon telah berlangsung ribuan tahun yang lalu.
Di Papua, pelarangan penangkapan ikan maupun hewan laut itu berlangsung kurang lebih selama 24 bulan.
Setelah masa tersebut, masyarakat diperbolehkan mengambil ikan secara beramai-ramai.
Kegiatan ini biasa disebut masa panen.
Namun, masa panen dibatasi waktunya, biasanya tidak lebih dari 1 bulan Dalam masa Sasi atau waktu pelarangan pengambilan ikan, biota yang dilarang diambil seperti ikan, lobster, teripang, kerang, maupun lola.
Masa Sasi itu adalah melarang mengambil hewan di laut dalam zona tertentu.Penentuan zona berdasarkan keputusan adat, yang nantinya akan ditandai dengan tanda-tanda tertentu.
Bagi yang melanggar, masyarakat setempat mempercayai bahwa orang tersebut akan mendapatkan hukuman dari Tuhan dengan mendapatan bencana.
Itulah tadi beberapa contoh tradisi serupa tradisi Sasi, serta penjelasan bagaimana bagaimana tradisi tersebut dapat menjadi norma dan dampaknya bagi masyarakat.
Baca Juga:Sejarah Kelas X: Berikan Pula Solusi untuk Mengatasi Tantangan Tersebut!
(*)