Intisari-Online.com-Perhatikan tempat tinggal kalian, apakah memiliki tradisi serupa seperti tradisi Sasi?
Jika iya, jelaskan bagaimana sejarahnya, bagaimana tradisi tersebut dapat menjadi norma dan dampaknya bagi masyarakat di tempat kalian?
Jawaban bagi pertanyaan ini harus disesuaikan dengan daerah tempat tinggal masing-masing.
Terlepas dari itu,Sasi adalah sebuah adat Maluku yang diwariskan oleh nenek moyang sejak berabad-abad lalu.
Adanya tradisi Sasi jugasebagai wujud pelestarian alam dan menjaga populasi.
Pada mulanya adat sasi dilakukan oleh raja-raja Maluku pada zaman sebelum kemerdekaan.
Namun tak hanya di Maluku, tradisi serupa juga ada di Sumatera Barat dan Papua.
Bagaimana tradisi tersebut dapat menjadi norma dan dampaknya bagi masyarakat?
1. Tradisi Sasi di Papua
Tradisi Sasi merupakan aturan tidak tertulis dalam masyarakat adat yang melarang penangkapan hewan laut dalam kurun waktu tertentu.
Baca Juga: Manfaat Tradisi Sasi bagi Kehidupan dan Prinsip-prinsip Pelaksanaannya
Tradisi ini merupakan cara untuk mendukung kelestarian alam.
Sasi merupakan tradisi secara turun-temurun yang konon telah berlangsung ribuan tahun yang lalu.
Di Papua, pelarangan penangkapan ikan maupun hewan laut itu berlangsung kurang lebih selama 24 bulan.
Setelah masa tersebut, masyarakat diperbolehkan mengambil ikan secara beramai-ramai.
Kegiatan ini biasa disebut masa panen.
Namun, masa panen dibatasi waktunya, biasanya tidak lebih dari 1 bulan Dalam masa Sasi atau waktu pelarangan pengambilan ikan, biota yang dilarang diambil seperti ikan, lobster, teripang, kerang, maupun lola.
Masa Sasi itu adalah melarang mengambil hewan di laut dalam zona tertentu.Penentuan zona berdasarkan keputusan adat, yang nantinya akan ditandai dengan tanda-tanda tertentu.
Bagi yang melanggar, masyarakat setempat mempercayai bahwa orang tersebut akan mendapatkan hukuman dari Tuhan dengan mendapatan bencana.
2. Tradisi Mencokau, Lubung Larangan
Lubuk larangan terdapat di Batang (Sungai) Kapur, secara administratif wilayah tersebut berada di Nagari Sialang, Kecamatan Kapur IX, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat.
Di Lubuk Larang telah dikenal sebagai kawasan yang disepakati terlarang untuk mengambil ikan dengan segala cara yang dapat merusak lingkungan.
Baca Juga: Simak Selengkapnya Penjelasan Tantangan Tradisi Sasi pada Masa Kini
Larang tersebut tertuang dalam hukum adat yang diperkuat dengan paraturan nagari.
Pemanenan ikan dilakukan setahun sekali dengan kesepakatan antara pengelola nagari tersebut. Biasanya, pembukaan Lubuk Larangan di pada musim kemarau atau menjelang Idul Fitri.
Pembukaan atau pemanenan Lubuk Larangan biasanya dilakukan dengan memasang pagar di sekitar kawasan untuk menempelkan jaring.
Penangkapan ikan hanya diperbolehkan menggunakan alat tradisional, supaya penangkapan ikan tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan.
Sedangkan ikan yang ditangkap minimal di atas 250 gram. Maksudnya, ikan-ikan yang lebih kecil dapat kesempatan menjadi lebih besar dan bertelur.
Masyarakat menggunakan pakaian adat, yaitu baju Taluaok Balango dan celana lebar yang serba hitam.
Ninik mamak turun ke sungai (Lubuk Larangan) untuk melempar jala pertama.
Hasil ikan yang beratnya di bawah 1 kilogram akan dibagi-bagikan kepada masyarakat secara merata, sedangkan hasil tangkapan ikan di atas 1 kilogram akan di lelang.
Itulah tadi beberapa contaoh tradisi serupa tradisi Sasi, sertabagaimana tradisi tersebut dapat menjadi norma dan dampaknya bagi masyarakat.
Baca Juga:Sejarah Kelas X: Berikan Pula Solusi untuk Mengatasi Tantangan Tersebut!
(*)