Supersemar adalah surat yang menjadi tonggak awal perubahan pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru.
Supersemar dikeluarkan pada 11 Maret 1946, yang berisi pemberian mandat kekuasaan kepada Menteri/Panglima Angkatan Darat Soeharto.
Letak bias sejarah dalam surat tersebut dapat dilihat dari adanya perbedaan interpretasi mengenai maksud dikeluarkannya Supersemar.
Setelah Supersemar dikeluarkan, Soeharto segera melakukan aksi beruntun, seperti membubarkan PKI, menangkap 15 menteri pro-Soekarno, mengontrol media massa, dan mengembalikan anggota Tjakrabirawa ke daerah asal.
Sementara itu, menurut Soekarno, Supersemar adalah instruksi kepada Letjen Soeharto untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu guna mengawal jalannya pemerintahan.
Kemudian, Supersemar juga berisi tentang perintah pengendalian keamanan, termasuk keamanan diri Soekarno sebagai presiden beserta keluarganya.
Akan tetapi, jenderal yang membawa Supersemar dari Bogor ke Jakarta, yaitu Amir Machmud pada 11 Maret 1946, menyimpulkan bahwa surat itu merupakan penanda pengalihan kekuasaan.
Perbedaan interpretasi inilah yang membuat Presiden Soekarno sempat mengecam tindakan Soeharto karena dianggap menyalahgunakan Supersemar.
Selama pemerintahan Orde Baru berkuasa, Soeharto pun membuat narasi tulisan sejarah bahwa Supersemar memang berisi mandat pengalihan kekuasaan dari Soekarno.
Di sanalah letak bias sejarah yang terjadi seputar Supersemar serta pengalihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru.
Mengapa terdapat bias sejarah?
Baca Juga: Kesinambungan Trem sebagai Transportasi Masa Dahulu hingga Sekarang
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Muflika Nur Fuaddah |
KOMENTAR