Intisari-Online.com – Dengan latar belakang daerah wisata Baturaden, Banyumas, Jawa Tengah, Jumat 12 Januari 2001, inilah kisah Rio ‘si Martil Maut’ atau dijuluki ‘Rio Martil’ yang jadi pembunuh kejam, bagaimana akhir kisahnya?
Rio, pengusaha asal Jakarta, berada di kamar 135 Hotel Rosenda, berbicara panjang lebar tentang minatnya menanamkan modal di bisnis perumahan di Baturaden, yang menurutnya berprospek cerah.
Sementara, Jeje Suraji, yang menyewakan mobilnya yang digunakan Rio, adalah seorang pengacara yang menjalankan bisnis persewaan mobil, duduk di hadapan Rio dengan ogah-ogahan menanggapi obrolan Rio.
Namun, tiba-tiba saja, bug!
Jeje merasakan sebuah pukulan benda keras menghantam kepalanya, sangat keras, hingga darah mengucur dan membuatnya tak sadarkan diri.
Pukulan yang membuat kepala Jeje remuk itu dilakukan berkali-kali oleh Rio dengan menggunakan dua martil, satu di tangan kiri, dan satunya di kanan.
Darah dan isi kepala Jeje berhamburan, percikannya mengenai kursi, meja, kasur, bahkan sampai ke dinding.
Melihat tubuh ayah tiga anak tergolek bersimbah darah di kursi itu, Rio langsung membuang martil ke lantai.
Dia lalu meraih selimut dan seprai kasur untuk mengelap tangannya yang belepotan darah, lalu kain itu digunakan untuk menutupi tubuh korbannya.
Rio lalu menuju kamar mandi dan mencuci tangannya di wastafel, karena merasa kurang bersih.
Tak lama terdengar pelayan hotel memanggil nama Jeje sambil mengetuk pintu kamar, yang dijawab Rio dengan berbohong.
Rio bergegas mengemasi barang-barangnya yang tidak terlalu banyak, setelah dirasa situasinya aman, dia lalu mencari kunci mobil di saku celana Jeje, sempat diliriknya arloji milik korban, yang kemudian dilepas dan ditaruhnya dalam saku celana.
Rio langsung tergesa-gesa ke tempat parkir ketika disapa pelayan hotel, yang langsung curiga karena Jeje tidak ada bersamanya.
Petugas hotel berteriak memanggil-manggil nama Rio, sengaja menarik perhatian orang di sekitarnya, dan ini membuat petugas keamanan hotel yang curiga ada ketidakberesan sudah lebih sigap dan memburunya, namun Rio melawan dengan kekesaran, dia membabi-buta menyerang petugas satpam.
Kegaduhan itu menarik lebih banyak orang yang langsung datang dan membantu, dan dalam waktu singkat Rio berhasil diringkus, yang mereka kira adalah maling, sehingga langsung dikeroyok hingga wajahnya babak belur.
Pegawai hotel tersadar karena Jeje tidak berada di antara mereka, dan langsung bergegas ke kamar 135 dan membukanya dengan kunci cadangan.
Pemandangan di dalam kamar itu sungguh mengenaskan dengan tubuh Jeje ditemukan terduduk di kursi hotel dalam keadaan tidak bernyawa, ditutupi seprai dan selimut serta bagian belakang kepala hancur, darah berceceran di lantang di lantai dan dinding.
Polisi segera datang setelah dikontak dan memeriksa TKP, bahkan Polsek Baturaden pun menurunkan timnya yang lebih lengkap.
Petugas kepolisian di Polsek Baturaden tidak pernah menyangka bahwa tersangka pelaku pembunuhan di wilayah mereka itu adalah Rio alias Toni, buronan yang dicari setidaknya oleh tiga Kepolisian Daerah, yaitu Polda Jawa Barat, Polda Jawa Timur, dan Polda Daerah Istimewa Yogyakarta.
Rio Alex Bullo, pria bertubuh kecil yang pendiam dan tertutup itu lahir di Sleman, 2 Mei 1978, dia dikenal tak banyak bicara, meski tidak terkesan menyeramkan bagi orang lain.
Dia tinggal di kawasan Senen, Jakarta Pusat, dengan orang-orang di lingkungannya yang tidak banyak mengenalnya.
Kepada keluarga istrinya, dia hanya bercerita kalau sudah merantau sejak usia 8 tahun, dititipkan ke kakak sulungnya di Jakarta, dan pernah pula ikut kakak yang lain di Medan.
Rio tumbuh besar di kawasan Pasar Senen yang dikenal sebagai daerah rawan, dan ini membuat tingkah laku Rio tidak terkendali.
Dia pernah bekerja sebagai pedagang, sopir taksi, hingga ke sebuah percetakan, namun tempat itu digerebek polisi karena menjadi tempat pembuatan surat-surat kendaraan palsu, seperti STNK dan BPKB.
Namun, dari pekerjannya itu, Rio berkenalan dengan jaringan pemalsu surat kendaraan, hingga menjadi komplotan pencuri mobil, dan dia pun terjun sebagai pencuri dan menggasak sejumlah mobil di berbagai tempat di Jakarta, dia pun dikenal sebagai pencuri ulung.
Dia sempat tinggal setahun di LP Cipingan setelah tersandung masalah dengan bos penadah mobil curiannya yang melaporkan ke polisi karena melarikan mobil setorannya, sekeluarnya dari LP dia melanjutkan pekerjaannya sebagai pencuri.
Kehidupannya sebagai kriminal, membuat Rio akrab dengan dunia malam dan narkoba, uang hasil kejahatannya habis untuk berfoya-foya.
Ketika memutuskan untuk berkeluarga, Rio dikenal sebagai orang yang sangat sopan di mata keluarga istrinya, apalagi dia sayang terhadap ketiga anaknya, dua perempuan dan satu keluarga, namun istrinya mengaku suaminya tidak percah bercerita tentang pekerjaan yang sebenarnya, hanya bilang kalau pedagang.
Tetapi, dalam catatan polisi, sebelum Jeje, setidaknya dia pernah tiga kali melakukan pembunuhan, hingga polisi menetapkannya sebagai buronan, tetapi keberadaannya selalu tidak diketahui karena selalu berpindah-pindah kota.
Aksi kejahatannya selalu dibarengi dengan kekerasan, dan ini berlangsung antara September-November 2020, dia beraksi dengan menginap di Hotel, lalu berpura-pura menyewa mobil, memukul sopirnya hingga tewas, dan membawa kabur mobil yang ‘disewanya’ itu.
Dalam aksi kejamnya itu, Rio selalu memukul kepala korban, tepat di bagian belakang sebagai sasaran paling mematikan, dan korbannya tewas akibat trauma benda keras.
Belakangan media massa menjulukinya sebagai ‘Rio Martil’ atau ‘Martil Maut’.
Persidangan atas terdakwa Rio Alex Bullo digelar di Pengadilan Negeri Banyumas, tanpa keluarga yang hadir.
Rio didakwa menganiaya hingga menyebabkan kematian Jeje Suraji, yang dikategorikan sebagai pembunuhan berencana, karena dia telah menyiapkan senjata dua buah martil, kejahatannya bertambah karena dia berusaha merampas harta korban, apalagi terungkap dia sudah membunuh tiga orang di berbagai kota.
Berdasar bukti-bukti tersebut, pada 14 Mei 2001, Rio divonis mati, dan ini membuatnya mengaku pasrah.
Rio menjalani hukumannya di LP Kedungpane, Semarang, sebelum akhirnya dipindahkan ke LP Permisan di Pulau Nusakambangan, bersama kasus terpidana mati Kasus Bom Bali I, yaitu Amrozi, Mukhlas, dan Abdul Aziz alias Imam Samudera.
Namun, pembunuhan kembali dilakukan Rio di dalam LP ini hanya karena dia tersinggung, dan korban kelimanya ini adalah Iwan Zulkarnain, pegawai PT Pos Indonesia yang menjadi terpidana kasus korupsi bilyet giro setoran pajak PT Semen Tonasa senilai RP42 miliar yang divonis 16 tahun.
Rio pun dipindah ke sel khusus untuk diisolasi dan memperlancar pemeriksaan, dia melakukan pembunuhan itu tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-27.
Sementara, proses hukum terhadap kasus Rio terus berlanjut, namun mulai tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA), Grasi, hingga Peninjauan Kembali (PK) pun ditolak, itu berarti dia tetap harus menghadapi regu tembak dalam waktu dekat.
Sebelum Rio menghadapi eksekusinya, dia berhasil bertemu dengan keluarga kecilnya, dengan istri dan anak-anaknya yang semakin tumbuh besar.
Menurut pengacaranya yang tidak tahu kapan eksekusi akan berlangsung karena tidak kunjung menerima surat dari Kejaksaan, ada tiga permintaan terakhir Rio.
Pertama, bertemu keluarganya. Kedua, dia meminta maaf kepada seluruh keluarga korban. Ketiga, dia ingin memberikan Al-Qur’an kepada keluarganya, termasuk satu buah diberikan kepada pengacaranya.
Kematian akhirnya menjemput ‘Rio Martil’ alias Rio ‘Si Martil Maut’ pada 8 Agustus 2008, pukul 00.30, dia dieksekusi oleh 12 orang anggota regu tembak di Desa Cipedok, Kecamatan Cilongok, Banyumas.
Baca Juga: [CERITA KRIMINAL] Kisah Rio Martil, Senjatanya Dua Martil
Temukan sisi inspiratif Indonesia dengan mengungkap kembali kejeniusan Nusantara melalui topik histori, biografi dan tradisi yang hadir setiap bulannya melalui majalah Intisari. Cara berlangganan via https://bit.ly/MajalahIntisari