Jenderal Soeharto 'Bukan Pilihan', Terkuak Ini Alasan Soeharto Sama Sekali Tak Tersentuh Saat G 30 S PKI,

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai pemimpin Operasi Jayawijaya
Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai pemimpin Operasi Jayawijaya

Intisari-online.com - Sejarah Gerakan 30 September oleh PKI (G 30 S PKI) memang menyimpan banyak misteri.

Salah satunya adalah mengenai keberadaan Soeharto yang hampir tak tersentuh oleh pemberontakan PKI.

Banyak yang menyangka bahwa Presiden Ke-2 Republik Indonesia itu, memiliki peran dalam insiden G 30 S PKI.

Sebab, dirinya menjadi satu jenderal TNI yang selamat dan tidak diculik oleh PKI, seperti jenderal lainnya.

Lantas di mana sebenarnya Soeharto, dan mengapa dirinya selamat dalam insiden berdarah tersebut ?

Sementara itu, dalam sebuah chanet Youtube Refly Harun, yang menghadirkan Profesor Salim Said membongkar alasan PKI sama sekali tak menyentuh Jenderal Soeharto.

Menurut keterangan Prof Salim Said, menyebut Soeharto yang berpangkat Mayjen pada waktu itu bukan pilihak PKI, karena tak termasuk Dewan Jenderal yang diisukan.

Refly Harun awalnya memberi pertanyaan dengan menyebut jenderal Soeharto sebagai Mayjen.

"Pada waktu itu pangkat pak Harto adalah Mayjen, yang pangkatnya tak lebih strategis dari jenderal lainnya," katanya.

"Padahal waktu itu, yang diincar pangkatnya pun ada yang brigjen atau posisinya lebih rendah dari pak Harto?" sambungnya.

Lalu Prof Salim Said pun menjawabnya dengan menyebut hubungannya dengan Jenderal Ahmad Yani tidak bagus.

"Jadi begini Soeharto itu hubungannya dengan Yani tidak bagus, karena sama-sama dari Jawa Tengah," katanya.

"Cerita ini bermula ketika Soeharto Pangdam Diponegoro, seorang anak buahnya komandan resimen namanya Yani, ketika Yani dianggat Bung Karno menjadi Kasad, menpangad kasad (menteru panglima angkatan darat)," jelasnya.

"Soeharto gak seneng, karena merasa dirinya lebih pantas, sehigga hubungannya di angkatan darat dingin," sambungnya.

"Lalu ada pengakuan jenderal Saidiman yang waktu itu kolonel di mbad, yang paham betul sikap dingin Soeharto," katanya lagi.

"Artinya Soeharto bukan bagian dari klik Yani, yang oleh PKI dianggap sebagai dewan jenderal," katanya.

Lebih lanjut Prof Salim Said juga menjelaskan mengenai Kostrad yang merupakan barang baru.

"Kostrad kan waktu itu barang baru, bukan kaya sekarang ada beberapa divisi," katanya.

"Jadi jika perang terjadi kontrad itu ada di batalyon-batalyon, sebagai second army, tidak langsung di bawah Soeharto" katanya.

Lalu, Refly Harun pun menyimpulkan bahwa Jenderal Soeharto tidak dianggap sebagai jenderal yang terpandang waktu itu.

"Jadi jenderal Soeharto bukan dianggap sebagai jenderal yang terpandang waktu itu," kata Refly Harun.

Sedangkan, dalam keterangan lain menurut Kolonel Latief, jenderal Soeharto tidak diculik karena dianggap loyalis Soekarno.

Sebelumnya ada wacana Dewan Jenderal berisi jenderal yang berencana melakukan kudeta pad Bung Karno, yang akhirnya menjadi incaran PKI.

"Karena kami anggap Jenderal Soeharto loyalis Bung Karno, maka tidak kami jadikan sasaran," kata Latief seperti dikutip dari buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang (2010).

Tak cuma itu, Latief bahkan melapor ke Mayjen Soeharto yang kala itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat.

Langkah ini dilakukan Latief setelah laporannya tak ditanggapi oleh Pangdam Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah dan Pangdam Brawijaya Mayjen Jenderal Basoeki Rachmat.

Latief mengaku sudah beberapa kali mewanti-wanti adanya upaya kudeta oleh Dewan Jenderal.

Menurut Latief, Soeharto hanya bergeming mendengar informasi itu.

Bahkan di malam 30 September 1965, Soeharto mengabaikan Latief yang menyampaikan rencananya menggagalkan kudeta.

Soeharto sendiri mengakui dia bertemu dengan Latief menjelang peristiwa G30S. Namun dia memberikan kesaksian yang berganti-ganti.

Baca Juga: Apa Itu PKI? Ini Sepak Terjangnya hingga Dibubarkan pada Tahun 1965

Artikel Terkait