Misalnya saja, harga beras yang dibeli dengan Rupiah seharga Rp5.000 per liter, bukan berarti harga setelah transisi harga beras 1 liter dihargai 1 dolar AS.
Yang berlaku adalah saat membeli beras dengan mata uang sebesar 1 dolar AS, maka beras yang didapatkannya harus lebih banyak dari 1 liter.
Menurut pemerintah Timor Leste, mengutip Kompas.com, juga bukan hanya karena kenaikan harga-harga barang di masa transisi, tetapi karena terjadi adanya prinsip pasar, yaitu permintaan dan penawaran.
Adopsi dolar ini lebih memudahkan investor asing untuk berdagang dan melakukan bisnis di negara kecil itu.
Baik PBB maupun pemerintahan transisi pada waktu itu mengklaim bahwa penggunaan dolar AS hanya dilakukan selama dua hingga tiga tahun setelah merdeka dari Indonesia.
Nyatanya, aturan itu masih berlaku hingga sekarang, yang berarti mata uang resmi Timor Leste masih menggunakan dolar AS.
Meskipun demikian, mata uang Rupiah masih marak digunakan di Timor Leste, terutama daerah yang berbatasan dengan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sedangkan penduduk Timor Leste di pedesaan, masih memilih menggunakan sistem barter.
Sementara uang tunai digunakan dalam perekonomis, uang plastik jarang sekali digunakan kecuali fasilitas atas seperti restoran mahal.
Meski telah merdeka 20 tahun silam, harga-harga barang di Timor Leste masih tinggi akibat warisan dari gejolak politik dan ekonomi pasca-merdeka.
Negara Timor Lorosae ini masih bergelut dengan kemiskinan dan ekonomi yang tidak stabil.
Maka, bukan tidak mungkin mempersiapkan mata uang sendiri tidak masuk dalam agenda prioritas pemerintah.
Temukan sisi inspiratif Indonesia dengan mengungkap kembali kejeniusan Nusantara melalui topik histori, biografi dan tradisi yang hadir setiap bulannya melalui majalah Intisari. Cara berlangganan via https://bit.ly/MajalahIntisari
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR