Bahkan ketika laporan tersebut mencatat bahwa, 90 persen media berbahasa China di negara itu dimiliki oleh seorang taipan China-Malaysia dengan kepentingan bisnis yang kuat di China.
"Garis editorial dari outlet-outlet ini dengan demikian didominasi oleh narasi pro-Beijing dan media berbahasa Mandarin kurang mempublikasikan topik sensitif secara politik dibandingkan dengan rekan-rekan mereka dalam bahasa Inggris dan Melayu," kata laporan itu, menambahkan bahwa liputan kritis telah muncul di outlet media besar lainnya.
Namun, tampaknya ada budaya sensor diri di antara jurnalis berbahasa Melayu dan China yang waspada bahwa liputan kritis dapat mengakibatkan pembalasan atau merusak hubungan bilateral.
Di Filipina, kehadiran kampanye disinformasi terkait Beijing penting tetapi belum tentu efektif, kata laporan itu.
"Data yang tersedia menunjukkan bahwa orang Filipina telah beralih dari menganggap pemerintah China sebagai pengaruh atau model positif dan bahwa mereka masih lebih memilih Amerika Serikat dan negara lain sebagai mitra," kata laporan itu.
"Orang Filipina menunjukkan skeptisisme yang meluas terhadap narasi media pemerintah China, terutama di tengah perselisihan teritorial yang memburuk antara kedua negara di Laut China Selatan," tambahnya.
"Setidaknya 36 anggota media Filipina melakukan perjalanan bersubsidi ke China pada 2019 dengan beberapa peserta menirukan poin pembicaraan negara China sekembalinya mereka," kata Freedom House.
Source | : | Freedom House |
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR