Intisari-Online.com-Nyai adalah julukan bagi seorang wanita yang hidup bersama pria Eropa, China atau Arab, tanpa adanya status pernikahan, bisa disebut juga sebagai gundik.
Mereka biasanya berasal dari kalangan pribumi, kadangkala juga bagi wanita China atau Jepang.
Dalam konteks historiografi kolonial, istilah Nyai cenderung negatif.
Para Nyai atau gundik di era kolonial Belanda memerankan peran layaknya ibu rumah tangga.
MelansirNational Geographic, Pria Eropa yang berjaga pada perkebunan karet dan tembakau akan memilih wanita Jawa yang cantik sebagai gundiknya.
Keberadaan para Nyai ini menimbulkan kesenjangan antara para buruh kontrak wanita.
Kesenjangan tersebut yang kemudian menjadi citra miring dan sentimen diantara para buruh wanita.
Buruh perempuan juga harus bekerja sangat keras ketika berburu ulat di perkebunan tembakau di bawah terik matahari, memilah daun tembakau, atau menyadap karet di perkebunan milik orang Eropa.
Berbeda dengan Nyai, mereka bekerja dengan waktu yang sama lamanya, hanya saja tanpa terik.
Mereka melayani pria Eropa di rumahnya, mengurusi urusan rumah tangga, serta mengawasi para pembantu rumah tangga dalam bekerja.
Meski para Nyai menghadapi kejahatan yang menyerang mental dan psikis lantaran harus melayani nafsu seksual layaknya wanita murahan, mereka tidak perlu bekerja sekasar para buruh.
Pergundikan dan kehidupan Nyai akhirnya berakhir setelah masuknya Jepang pada 1942.
Nyai berhasil mencetak para Indo (keturunan Indonesia-Eropa) yang berbudi pekerti luhur, sebagaimana pendidikan moral yang berlaku bagi wanita Jawa.
Meskipun banyak dipandang sebelah mata, Nyai memiliki peran positif dalam kehidupan bermasyarakat yakni sebagai cultural mediator antara budaya Barat dan Timur.
(*)