Intisari-Online.com-Sebutan nyai pada masa kolonial ditujukan kepada perempuan muda, setengah baya yang menjadi ”gundik” atau ”perempuan simpanan” orang asing, khususnya orang Eropa.
Sebutan ini, menurut anggapan orang Eropa pada masa itu, setara dengan concubine, bijwijf, atau selir yang meniru kebiasaan para raja di Nusantara.
Nyai pada masa kolonial kerap disandingkan dengan urusan dapur dan kasur yang berfungsi sebagai 'teman' bagi para pria Eropa kesepian.
Seorang anggota Parlemen Belanda,Henri van Kol, pernah membuat catatan perjalanan yang diterbitkan tahun 1903 di Hindia Belanda mengenai pergundikan.
Catatan itu mengungkap kekhawatiran yang ditimbulkan akibat adanya pergundikan, sehingga menyebabkan percampuran darah pribumi dengan Belanda.
Tulisan itu juga didasarkan atas pengamatannya ketika sedang dalam perjalanan dari Salatiga ke Magelang.
Henri van Kol menyebut sekelompok Indo ini dengan sebutan 'orang liar.'
Tingkat kemiskinan di antara orang-orang Indo sangat tinggi, kehidupan mereka menyedihkan dan masa depan mereka pun suram.
Baginya, kemiskinan di kalangan Indo adalah kesalahan pemerintah Hindia Belanda.
Para Indo mendiami gubuk-gubuk reyot dalam lingkungan bermoral bobrok dan menyambung hidup hanya dengan usaha-usaha ilegal.
Banyak di antara mereka juga yang mendulang keuntungan dari rumah-rumah bordil serta menjual kehormatan anak perempuannya.
Ada yang gemar berjudi, ada juga yang menyelundupkan candu.
Sejak abad ke-17, Belanda sudah terbiasa melakukan perkawinan dengan pribumi yang melahirkan Indo.
Dari sini masalah bagi Hindia Belanda sudah dimulai.
Akibatnya, pandangan sentimen telah menstigma orang-orang Indo di Hindia Belanda.
Henri van Kol mengkhawatirkan kehadiran mereka, menyebutnya sebagai ancaman moral yang dapat berdampak bagi kehidupan di Hindia Belanda.
Hanya sedikit yang berhasil mencari makan dengan cara yang baik.
(*)