Penulis
Intisari-Online.com -Nyai pada masa kolonial kerap disandingkan dengan urusan dapur dan kasur yang berfungsi sebagai 'teman' bagi para pria Eropa kesepian.
Sebutan nyai sendiri pada masa kolonial ditujukan kepada perempuan muda, setengah baya yang menjadi ”gundik” atau ”perempuan simpanan” orang asing, khususnya orang Eropa.
Sebutan ini, menurut anggapan orang Eropa pada masa itu, setara dengan selir yang meniru kebiasaan para raja di Nusantara.
Awal permulaan munculnya praktik pergundikan ini disebabkan terbatasnya perempuan Eropa yang ada saat itu membuat para pegawai VOC dan penduduk laki-laki Eropa terpaksa mencari pasangan dari perempuan-perempuan lokal.
Pergundikan ini tentu saja tidak `direstui' oleh pemerintah Hindia Belanda, karena itu tidak banyak dokumen yang menceritakan masalah ini.
Meski begitu, pergundikan tetap bertahan kuat selama masa Kolonial.
Dari sedikit cerita, ada satu kejadian menarik yang melibatkan seorang Nyai terjadi di Batavia pada tahun 1928.
Kejadian ini diceritakan dalam koran Sin Po, berikut ceritanya:
"Peristiwa malang menimpa S, seorang penggawe Gemeente (pegawai Kotamadya), yang telah menikah dengan seorang perempuan Sunda dan bertempat tinggal di gang Penghulu Tanah Abang.
Kejadian mengejutkan terjadi pada beberapa hari berselang.
Waktu itu sekonyong-konyong rumah S kedatangan seorang Belanda yang mengaku dirinya polisi.
Belanda ini mengatakan pada S bahwa perempuan Sunda yang menikah padanya adalah ia punya bekas Nyai dan sekarang ia mau ambil itu perempuan.
Kalau S tidak kasih ia nanti jadi celaka.
Sambil mengatakan itu, ia lantas mengancam S dengan revolver, hingga S jadi ketakutan dan tinggal diam saja. Akhirnya Belanda itu dengan leluasa membawa pergi ia punya istri.
Memang, seperti yang dikatakan Reggie Baay: menurut kebiasaan yang berlaku, sang gundik dapat disuruh pergi kapanpun sang laki-laki menginginkannya ("Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda," Komunitas Bambu; 2010). Tampaknya, hal itulah yang terjadi pada sang Nyai.
Namun ternyata, setelah sang Nyai pergi dan menikah lagi, si Blanda merasa kesepian sehingga ia mencarinya dan memutuskan untuk mengambil lagi "miliknya," meskipun telah dinikahi oleh orang lain.
Malangnya nasib S, yang tak dapat berbuat apa-apa karena tidak berani melawan si Blanda dengan revolvernya.
Selain itu, S yang ketakutan tidak berani adukan perbuatan Blanda itu pada polisi.
Ia hanya tuturkan cerita tersebut pada beberapa kenalan saja." (Sin Po, November 1928).
Meskipun kehidupan para Nyai umumnya mapan dari segi materi, namun dalam status sosial kehadirannya sering dianggap sebagai perempuan murahan, karena tidak bisa mendapatkan status "istri" meski banyak diantara mereka telah memiliki anak dari hasil hubungan dengan majikannya.
(*)