Intisari-Online.com – Surat pribadi yang ditemukan di Amarna ini memberikan rincian diplomasi Mesir Kuno dan mengungkapkan bagaimana kekuatan politik dibangun, aliansi ditempa, dan firaun tersanjung.
Terkadang, pada arkeolog cukup beruntung menemukan seluruh koleksi dokumen yang sepenuhnya mengubah pengetahuan mereka tentang periode kuno.
Hal tersebut memungkinkan mereka untuk mengamati waktu secara detail.
Harta karun yang mengubah Ilmu Mesir Kuno itu tidak diragukan lagi adalah Surat Amarna, yang berupa 382 tablet tanah liat.
Tablet tanah liat itu dianggap sebagai dokumen diplomatik tertua yang diketahui.
Dokumen-dokumen itu merupakan korespondensi yang ditulis pada abad ke-14 SM antara Firaun dan raja-raja saingan mereka, Babilonia, Asyur, Het, dan Mitania.
Termasuk surat-surat yang ditulis oleh raja-raja ‘boneka’ di bawah pemerintahan Mesir.
Arsip dokumen-dokumen itu dimulai dari masa pemerintahan Amenhotep III (1390-1353 SM), raja pendiri Mesir yang agung.
Juga mencakup masa pemerintahan putranya, Akhenaten (1353-1336 SM), yang revolusi agamanya mengguncang Mesir Kuno selama satu generasi.
Surat-surat tersebut memberikan wawasan tentang Mesir Kuno dari Dinati ke-18, menawarkan gambaran rinci tentang Mediterania timur dan Timur Tengah di Zaman Perunggu Akhir.
Sekitar tahun 1348 SM, Firaun Akhenaten memindahkan istananya ke tempat terpencil lebih jauh ke utara, antara Thebes (bekas ibu kotanya) dan Memphis.
Perubahan itu menjadi bagian dari tujuan radikal Firaun, yaitu untuk menyembah Aten, matahari, sebagai dewa Mesir yang eksklusif.
Ibu kota baru Akhenaten, di tepi timur Sungai Nil, disebut Akhetaten, yang berarti ‘cakrawala Aten’, dan mengacu pada perbukitan yang membingkai matahari terbit.
Namanya asat ini, Tell el Amarna, juga digunakan untuk menunjuk situs Akhetaten.
Dia juga menyebut budaya luar biasa yang sempat berkembang pesat ketika agama baru (menyembah Aten) disertai dengan kebangkitan gaya seni revolusioner Amarna.
Pemerintahan Akhenaten tidak hanya melibatkan revolusi agama dan seni.
Dia mewarisi kerajaan yang kaut dan prestise ayahnya, Amenhotep III, dan terus membela kepentingan Mesir, terutama di Nubia, sebuah wilayah di selatan tempat mineral berlimpah.
Sampai hari kematian Akhenaten pada tahun 1336 SM, ibu kota Mesir Kuno adalah kota yang ramai yang penuh dengan itana dan kuil, rumah, barak, dan gedung administrasi.
Di gedung-gedung inilah ditemukan surat-surat diplomatik, dimulai dengan surat-surat dari Amenhotep III dan Ratu Tiye.
Kota kuno itu diidentifikasi di Amarna pada akhir tahun 1700-an ketika piramida Akhenaten ditemukan di tempat itu.
Sementara surat-surat diplomatik itu terungkap pada tahun 1880-an setelah serangkaian penemuan kebetulan.
Ketika keberadaan situs tersebut diketahui, maka diketahui bahwa itu sangat penting secara arkeologis.
Wallis Budge, kurator British Museum, berhasil mendapatkan 82 buah artefak.
Melalui pasar barang antik, banyak tablet juga mencapai Museum Mesir di Kairo dan Museum Staatliche di Berlin, melansir dari Historical Eve.
Saat penggalian besar pertama di Amarna tahun 1890-an oleh Ahli Mesir Kuno dari Inggris William Flinders Petrie, lebih banyak tablet dari zaman Akhenaten yang ditemukan.
Selama kampanye pertamanya, Petrie menjelajahi sebuah bangunan dengan tulisan ‘Kantor Korespondensi Firaun’ di batu batanya.
Tetapi surat-surat itu tidak ditulis dalam bahasa Mesir Kuno, tetapi dalam bahasa Akkadia, bahasa yang digunakan di Mesopotamia Kuno.
Pada milenium kedua SM, bahasa Akkadmia menjadi lingua franca di seluruh kawasan, memainkan peran yang mirip dengan bahasa Inggris dalam hubungan internasional saat ini.
Ditulis dalam sistem runcing, sebagian besar tablet yang ditemukan itu ternyata adalah surat yang diterima oleh orang Mesir Kuno.
Hanya beberapa salinan surat yang ditulis oleh firaun yang disimpan.
Para sejarawan telah membagi Surat Amarna itu menjadi dua kelompok besar.
Salah satunya termasuk surat kepada firaun yang ditulis oleh para pemimpin negara yang dikendalikan oleh Mesir.
Sementara kelompok yang lainnya adalah surat kepada firaun yang ditulis oleh rekan-rekannya, atau seperti yang diyakini, rekan semunya, yaitu para penguasa kekuatan independen lainnya.
Dalam surat-surat oleh raja-raja ‘boneka’ para penulis mengekspresikan diri mereka dengan sikap perbudakan yang ekstrem.
Misalnya, raja Gezer menulis:
“Untuk raja, tuanku, tuhanku, matahariku, matahari surga: Pesan dari Yapahu, hambamu, bumi yang digoyang kakimu. Aku jatuh di kaki raja, tuanku, tuhanku, matahariku, tujuh kali dan tujuh kali.”
Sementara, pada surat-surat yang ditulis oleh rekan-rekan firaun, para penguasa kekuatan regional yang besar, membuat upaya yang bijaksana dengan menggunakan bahasa yang menunjukkan kedudukan yang setara.
Beberapa surat berasal dari masa pemerintahan Amenhotep III dan istri kerajaannya yang agung, Tiye, ibu dari Akhenaten.
Setelah kematian Amenhotep, Tiye tetap berkuasa ketika putranya naik takhta.
Akhenaten memindahkan arsip ayahnya ke ibu kota baru untuk mencatat hubungan diplomatik dengan sekutu dan negara bawahan Mesir.
Temukan sisi inspiratif Indonesia dengan mengungkap kembali kejeniusan Nusantara melalui topik histori, biografi dan tradisi yang hadir setiap bulannya melalui majalah Intisari. Cara berlangganan via https://bit.ly/MajalahIntisari