Intisari-online.com - Tomegoro Yoshizumi, namanya mungkin jarang didengar, namun dia adalah orang asing yang membantu kemerdekaan Indonesia.
Yoshizumi adalah mata-mata Jepang, yang terjun ke dunia bisnis sebagai saudagar, dan membangun relasi dengan banyak orang di Jawa dan Sulawesi.
Pada 1930, dia berperan sebagai wartawan, meski identitas aslinya adalah mata-mata Jepang.
Dia menjadi wartawa di Nichiran Shogyo Shinbun, yang memberitakan kemenangan Jepang atas Rusia 1905.
Koran ini juga mengkampanyekan jargon Asia untuk Asia, dan Jepang sudara tua, sehingga dikritik oleh pemerintah Hindia Belanda.
Yoshizumi juga membuat tulisan di Tohido Nippo, koran gabungan Nichiran Shogyo Shinbun dan Jawa Nippo, membuatnya bisa menggalang persatuan orang Jepang di Hindia Belanda.
Karena aktivitasnya dia dideportasi oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Sementara di Jepang dia menjalin koordinasi dengan Kaigun, atau Angkatan Laut Jepang.
Dia bekerja untuk mengamati dan ikut operasi di Selatan termasuk Indonesia.
Namun, dirinya ditangkap oleh Pemerintah Hindia Belanda, setelah Jepang menyerbu Pearl Harbor, 8 Desember 1941.
Dia menjalani penahanan yang berat di Australia, tetapi hal ini justru membuatnya berubah.
Hal itu diungkapkan oleh Nishijima, yang merupakan sahabat Yoshizumi.
Tomegoro Yoshizumi yang awalnya seorang sayap kanan dan nasionalis Jepang yang antikomunis, menjadi seorang Marxis.
Idealisme kirinya tersebut membuatnya bersimpati pada Indonesia, dan menjadikannya tokoh kunci kemerdekaan Indonesia.
Yoshizumi yang mengepalai intelijen Kaigun, penghubung Angkatan Laut Jepang, membuat jaringan bawah tanah.
Dia melakukan pertemuan dengan Yoshizumi, Nishijima dan Tan Malaka di rumah Anmad Subardjo, setelah proklamasi kemerdekaan.
Tak hanya itu saja ia juga meminta dibaiat dengan nama Indonesia.
Kemudian namanya berubah, menjadi menjadi Arif untuk Yoshizumi, sementara Nishijima berubah menjadi Hakim.
Mereka melibatkan diri dalam perjuangan Indonesia untuk merdeka.
Seperti mencuri barang di gudang Markas Besar Kaigun Bukanfu dan menjualnya ke pasar gelap.
Uang tersebut kemudian diberikan kepada Tan Malaka untuk dana perang gerilya.