Intisari-online.com - Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, dikumandangkan oleh Presiden Soekarno.
Setelah merdeka sudah jelas ekonomi Indonesia sangat terpuruk, bahkan bisa dikatakan belum stabil.
Menurut Kompas, situasi ekonomi pasca kemerdekaan Indonesia dari 1945-1950, sangat buruk.
Terjadi hiperinflasi, atau kenaikan barang secara ekstrem.
Penyebabnya, adalah beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkenali, di wilayah Indonesia.
Pada saat itu ada tiga mata uang yang beredar, yaitu, De Javanesche Bank (DJB) mata uang pemerintahan Hindia Belanda, Mata uang Jepang, dan mata uang yang diakui bersama
Kemudian, pada 6 Maret 1946, panglima AFNEI yang baru, Letnan Jenderal Sir Montagu Stopford mengumumkan berlakunya mata uang NICA di daerah yang ditempati Sekutu.
Munculnya uang NICA ini sebagai pengganti uang Jepang yang nilainya sudah sangat merosot.
Begitu pemerintah RI mengetahui hal tersebut, melalui Perdana Menteri Syahrir, mereka memproses tindakan Jepang yang dianggap sudah melanggar persetujuan.
Persetujuan tersebut berisikan bahwa tidak akan muncul mata uang baru apabila belum ada penyelesaian politik mengenai status Indonesia.
Kemudian, Belanda juga memblokade perdagangan Indonesia sehingga menyebabkan kas pemerintah kosong, pajak dan bea cukai lainnya mengalami kemersotan.
Kondisi ini makin membuat Indonesia makin memburuk.
Kekosongan kas membuat Indonesia mengalami hiperinflasi pada awal kemerdekaan.
Karena itu, satu-satunya cara adalah melakukan pinjaman nasional, yang dicetuskan pertama kali oleh Menteri Keuangan Ir. Surachman.
Program ini didukung Bank Tabungan Pos, yang membentuk pemerintah untuk menyalurkan pinjaman.
Kemudian, pada 30 Oktober 1946, Indonesia mengeluarkan mata uang kertas pertama yang disebut Oeang Republik Indonesia (ORI).
Mata uang ini digunakan sebagai alat pembayaran, sekaligus pengganti mata uang Jepang.
Seribu mata uang Jepang, bernilai satu rupiah ORI.
Pengedaran mata uang ORI mulai mengalai masalah pada Agresi Militer Belanda I dan II.
Dalam agresi ini setiap daerah Indonesia harus mengeluarkan banyak biaya untuk perang.
Namun, Indonesia tak kehabisan akal demi menembus blokade ekonomi Belanda, pemerintah Indonesia melakukan diplomasi beras.
Ini dilakukan Perdana Menteri Sutan Syahrir, untuk menekan kelaparan.
Indonesia menekan surplus beras, sekitar 200.000-400.000 ton.
Sehingga pemerintah Indonesia memutuskan mengirim bantuan beras sebanyak 500.000 ton ke India.
Melaui bantuan ini, India menjadi negara Asia paling aktif dalam membantu perjuangan diplomasi RI di forum internasional.