Ferdy Sambo Akui Berbohong soal Kematian Brigadir J, Berbanding Terbalik dengan Jenderal Hoegeng, Polisi Jujur yang Disebut Gus Dur dalam Humornya hingga Melegenda

Muflika Nur Fuaddah
Muflika Nur Fuaddah

Editor

Jenderal Hoegeng, Polisi Jujur yang Disebut Gus Dur dalam Humornya
Jenderal Hoegeng, Polisi Jujur yang Disebut Gus Dur dalam Humornya

Intisari-Online.com -Mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Irjen Ferdy Sambo mengakui memberikan informasi tak benar atas peristiwa tewasnya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.

Atas hal tersebut, Sambo pun menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia dan institusi Polri karena tidak jujur.

Adapun Brigadir J tewas diduga akibat ditembak oleh Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E atas perintah Ferdy Sambo di rumah dinasnya di Duren Tiga, Jakarta Selatan, 8 Juli lalu.

Berbanding terbalik dengan Ferdy Sambo, konon polisi yang kejujurannya melegenda yakni hanya ada satu ialah Jenderal Hoegeng.

Kejujuran Jenderal Hoegeng terkenal dalam humor Gus Dur, "Ada tiga polisi jujur di Indonesia, yaitu polisi tidur, patung polisi, dan Jenderal Hoegeng".

Siapa sebenarnya Jenderal Hoegeng yang disebut Gus Dur dalam humornya itu?

Melansir Kompas.com, Hoegeng lahir pada 14 Oktober 1921 di Pekalongan.

Ayahnya, Sukario Hatmodjo pernah menjabat sebagai kepala kejaksaan di Kota Batik itu.

Asvi Warman Adam dalam artikelnya "Hoegeng, Polisi Teladan" yang dimuat di Harian Kompas, 1 Juli 2004, mengatakan, nama pemberian ayahnya adalah Iman Santoso.

Ketika kecil, Hoegeng sering dipanggil Bugel (gemuk), lama-kelamaan menjadi Bugeng, akhirnya berubah jadi Hugeng.

Ia mengenyam pendidikan di beberapa daerah yang berbeda.

Setelah Sekolah di HIS dan MULO Pekalongan, Hoegeng belajar di AMS A Yogyakarta.

Di Yogyakarta, Hoegeng membentuk sebuah band Hawaian dan mendapat tambahan biaya hidup dari band itu.

Selepas dari Yogyakarta, Hoegeng melanjutkan pendidikan ke Recht Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia kemudian masuk Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).

Awal karier sebagai polisi

Setelah lulus dari PTIK pada 1952, Hoegeng ditempatkan di Jawa Timur.

Tugas keduanya sebagai Kepala Reskrim di Sumatera Utara yang menjadi batu ujian bagi seorang polisi karena daerah itu terkenal dengan penyelundupan.

Hoegeng disambut secara unik. Rumah pribadi dan mobil telah disediakan beberapa cukong judi.

Tetapi, ia menolaknya dan memilih tinggal di hotel sebelum mendapatkan rumah dinas.

Tak berhenti di situ, rumah dinas itu lalu dipenuhi dengan perabot.

Perabot itu dikeluarkan secara paksa oleh Hoegeng dari rumahnya dan ditaruh di pinggir jalan.

Sikap Hoegeng ini pun membuat gempar Kota Medan. Selepas dari Medan, Hoegeng kembali ke Jakarta dan ditugaskan Presiden Soekarno untuk menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) Imigrasi.

Chris Siner Key Timu dalam artikel "Pak Hoegeng dalam Kenangan" yang dimuat di Harian Kompas, 15 Juli 2004, menceritakan, Hoegeng meminta istrinya, Merry untuk menutup toko kembang.

Ketika istrinya menanyakan hubungan antara jabatan Dirjen Imigrasi dan toko kembang, Hoegeng menjawab singkat.

"Nanti semua yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang Ibu Merry dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya," tulis Chris.

Merry pun memahami dan menutup toko kembangnya.

Hoegeng juga menolak pemberian mobil dinas dari Sekretariat Negara.

Alasannya, ia telah memiliki mobil jip dinas dari kepolisian.

Menjabat Kapolri

Pada 1968, Presiden Soeharto mengangkat Hoegeng sebagai Kepala Polri menggantikan Soetjipto Yudodihardjo.

Dalam artikel yang ditulis Rosihan Anwar, "In Memorian Hoegeng Imam Santoso" yang dimuat di Harian Kompas, 15 Juli 2004, menyebutkan, pada masa itu kasus penyelundupan merajalela.

Di antara yang terkenal adalah kasus penyelundupan mobil mewah yang didalangi oleh Robby Tjahyadi atau Sie Tjie It.

Pada 1971, Hoegeng mengumumkan keberhasilannya dalam membekuk penyelundupan mobil mewah melalui Pelabuhan Tanjung Priok.

Mobil-mobil itu dimasukkan dengan perlindungan tentara. Ternyata, pengungkapan kasus itu mempercepat pemberhentiannya sebagai Kepala Polri.

Soeharto beralasan, pemberhentian Hoegeng tersebut adalah untuk regenerasi.

Selepas itu, Hoegang sebenarnya ditawari menjadi Duta Besar oleh Soeharto, tetapi ia menolaknya.

"Saya menolak penugasan saya sebagai Duta Besar di luar negeri, karena saya merasa tidak capable untuk tugas itu," kata Hoegang, dikutip dari pemberitaan Harian Kompas, 15 September 1971.

"Saya mau pikir keluarga saya dulu. Kedua anak saya masih sekolah dan kalau saya ke luar negeri, studi mereka bisa kacau," lanjut dia.

Jenderal Hoegeng meninggal dunia pada 14 Juli 2004 setelah menjalani perawatan di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, karena stroke yang dideritanya.

Hoegeng dimakamkan di Parung Raya, Bogor, Jawa Barat.

Baca Juga: Akhirnya Buka Suara Setelah Ditetapkan Sebagai Tersangka, Inilah 4 Fakta Baru yang Terungkap Setelah Ferdy Sambo Diperiksa Selama 7 Jam Lamanya

(*)

Artikel Terkait