Yenti Garnasih, Sang Doktor Pencucian Uang

Nur Resti Agtadwimawanti

Editor

Yenti Garnasih, Sang Doktor Pencucian Uang
Yenti Garnasih, Sang Doktor Pencucian Uang

Intisari-Online.com- “Anda yang salah. Anda yang tidak tahu apa-apa dan Anda tidak tahu siapa saya karena Anda kurang baca. Pak Hakim, kalau dia tidak menjaga omongannya, saya keluar.”

Itulah sekelumit kejengkelan dan ketegasan Doktor Pencucian Uang (money laundering) pertama di Indonesia, Dr. Yenti Garnasih, S.H., M.H., ketika menjadi saksi ahli kasusillegal logging. Ya, memang masih banyak yang belum mafhum tentang pencucian uang. Tak jarang ketika menjadi saksi ahli, Yenti, begitu sapaannya, bertemu dengan pengacara atau penegak hukum yang kurang paham dengan pencucian uang. Alih-alih mencoba memahami, malah menganggap Yenti lah yang tidak paham.

Keberadaan Undang-undang Pencucian Uang memang baru di Indonesia. Saat undang-undang tersebut disahkan pada 2002, sebenarnya kita sudah tertinggal sekitar 16 tahun dari negara lain. “Yang pertama tahun 1986 dari Amerika Serikat, lalu ke Eropa tahun 1990. Waktu itu kita tidak mau. Kita masih mau dengan konsep lama, bahwa pelaku korupsi ya dipidana dengan undang-undang korupsi saja,” ujar Yenti yang sering diminta menjadi saksi ahli kasus terkait pencucian uang.

Pencucian uang ini sebenarnya sangat erat dengan nilai luhur nenek moyang kita. Leluhur kita sangat berbudaya. Ingatkah dengan istilah, “Kalau menerima sesuatu itu harus berprestasi. Kalau ingin menjaga harga dirinya berarti tidak boleh menerima sesuatu dengan gratis”? Rasanya itu masih sesuai bila diterapkan pada kondisi apa pun.

Sebagai tambahannya, tentu kita bisa lihat apakah orang yang memberi sesuatu kepada kita itu pantas memberikan sejumlah pemberiannya tersebut kepada kita? Bila kita menerimanya, berarti kita siap pula menerima risikonya.

“Kita jangan mau dong, menjadi tempat persembunyian uang negara yang dicuri,” ujar Yenti. Maka, pertanyaannya selanjutnya adalah: “Apakah kita rela, memberi sesuatu untuk keluarga kita dengan hasil korupsi?” Itulah nilai moralnya.

Pencapaian Yenti menjadi doktor pertama pencucian uang di Indonesia tak lepas dari disertasinya 12 tahun lalu. Ia berpendapat bahwa pada waktu itu Indonesia memang menyiapkan dirinya sebagai ‘surga’ pencucian uang untuk dunia.

Inilah yang menggagalkan negara yang ingin memberantas pencucian uang. Ya, karena bila tak bisa menyembunyikan hasil kejahatannya di negara mereka, pelaku kejahatan bisa dengan aman menyembunyikannya di Indonesia. Ketika Indoneisa tak punya undang-undang pencucian uang, itu artinya upaya internasional memberantas pencucian uang menjadi gagal. “Waktu itu Indonesia memang tidak sendiri. Masih bersama 17 negara lain. Tapi, di antara yang banyak itu, Indonesia lah yang paling korup,” tutur Yenti.

Sekarang pun, menurut Yenti, Indonesia masih sangat setengah hati dalam menerapkan Undang-undang Pencucian Uang. Pelbagai kasus korupsi yang sampai ke pengadilan jarang sekali mengaitkan kasusnya dengan pencucian uang. Menurut Yenti, itu merupakan suatu indikasi kegagalan.

Yenti selalu berpesan kepada para penegak hukum untuk menggunakan pendekatan pencucian uang pada kasus korupsi. “Tidak ada alasan bagi penegak hukum untuk mendakwa dan menghukum pelaku korupsi dengan undang-undang korupsi saja, harusnya kumulatif," ucapnya gamblang. Pada akhirnya, dengan tegas Yenti mengatakan, “Tidak ada tawar menawar kalau negara ini mau selamat. Korupsi harus diberantas. Jangan ampuni koruptor. Masukkan ke penjara dan rampas uangnya. Tidak ada toleransi.”