Sejak mendapatkan perintah untuk melumpuhkan (hidup atau mati) desersi Princen dari Mayor Jenderal Engels (Komandan Angkatan Darat Belanda di Jawa Barat), Ulrici bekerja keras mempelajari gerakan Pasukan Istimewa Siliwangi yang dipimpin Princen. Atas wewenang dari Mayjen Engels pula, anggota pasukan baret hijau KST ini membentuk pasukan yang diambil dari prajurit-prajurit komando terpilih. Ia lantas memberi nama pasukan itu sebagai “Compagnie Eric”, yang diambil dari nama sandinya di KST.
“Kami harus cepat bergerak, sebelum gencatan senjata berlangsung pada 10 Agustus 1949,” ujar Ulrici dalam suatu wawancara di televisi Belanda.
Gara-gara tubrukan
Setelah beberapa jam menunggu dan tak mendapatkan para pemburunya bergerak, peleton Pasukan Istimewa yang dipimpin Princen akhirnya memutuskan untuk kembali pulang ke Gunung Rosa. “Aku minta seorang perwira dan satu unit pasukan untuk bertahan di Cilutung guna menghadapi kemungkinan mereka bergerak lewat tengah malam,” kenang Princen.
Begitu kembali di Gunung Rosa, demi keamanan, Princen memerintahkan para penjaga untuk menggali lubang-lubang pertahanan yang menempatkan para penembak jitu di dalamnya. Ia lantas masuk ke pondok dan disambut oleh seulas senyum dari Odah yang tengah menyiapkan makan malam untuknya: ayam goreng, nasi putih dan sambal. Sambil menemani Princen makan,Odah bercerita tentang banyak hal dalam bahasa Sunda.
Di tengah kerinduannya kepada keluarga di Belanda, Odah menjadi belahan jiwa sekaligus pelipur lara bagi Princen di negeri tropis ini. Perempuan Sunda itu dinikahinya beberapa bulan setelah ia meninggalkan kesatuan KL-nya dan bergabung dengan Divisi Siliwangi. Masih segar dalam ingatan Princen, bagaimana pertemuan pertama dirinya dengan Odah.
Suatu hari saat pulang penghadangan, di jalan setapak sebuah hutan bambu, secara tak sengaja ia bertubrukan dengan seorang gadis yang tengah membawa kue-kue kecil dalam sebuah tampah. Sudah pasti,benda-benda enak itu pun berserakan di tanah
“Aku lantas minta maaf, mengantarkan dia pulang ke kampungnya dan mengganti kerugian yang ia derita akibat kecerobohanku,” kenang lelaki bule kelahiran Den Haag, Belanda itu.
Sejak itulah, ia jadi sering berkunjung ke rumah Odah di sebuah desa dekat lereng Gunung Gede. Tak jarang, ia pun kerap mengajak Odah ke markasnya. Pasangan Odah-Princen kemudian menjadi ajang gosip di kalangan pasukan dan orang-orang kampung yang tidak terbiasa dengan tradisi pacaran ala Belanda-nya.
Beberapa waktu kemudian, atas desakan Kapten Saptadji yang merasa jengah dengan gosip-gosip tersebut, Princen dan Odah pun menikah. Princen lantas masuk Islam. “Aku sedikit pun tidak memiliki persoalan. Aku percaya kepada Tuhan dan sudah lama memastikan diri bahwa tidak banyak bedanya melalui agama mana kepercayaan itu aku salurkan,” ujarnya seperti yang diungkapkan Joyce van Fenema dalam Poncke Princen, Een Kwestie van Kiezen.
Malam semakin dingin. Suara binatang malam bersipongan, membentuk orkestra yang digerakkan alam. Obrolan masih terus berlanjut begitu Princen selesai bersantap. Menjelang dini hari, mereka akhirnya menyerah dan memanjakan rasa kantuknya di sehelai tikar butut. Terlelap hingga serentetan tembakan memecah pagi.
Odah tewas
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR