Sambil menghamburkan peluru-peluru tajam dari Tommygun-nya, Ulrici memerintahkan anak buahnya untuk membuat formasi setengah lingkaran mengepung pondok kecil yang dikelilingi parit tersebut. Beberapa anak buahnya lantas melempar 2-3 granat ke arah para penembak jitu TNI yang tengah bertahan di lubang. Glaaarrr! Asap putih dan kobaran api kemudian muncul. Lima prajurit Siliwangi tampak terkapar bersimbah darah.
Diikuti oleh sebagian anak buahnya, Ulrici berlari menembus asap putih dan kobaran api untuk mendapatkan Princen di dalam pondok. Usai mendobrak pintu, ia lantas menghambur ke dalam pondok. Sekilas sudut matanya yang terlatih menangkap gerak sesosok tubuh di dalam kamar. Tratatatatat! Tanpa menunggu lagi, Ulrici menghantam sosok itu dengan hamburan peluru Tommygun-nya.
Dalam gerak hati-hati, prajurit yang kelak mendapat medali Militaire Willems-Ordedar dari Kerajaan Belanda itu mendekati sosok yang sudah terkapar tersebut. Hatinya tercekat, begitu mengetahui tembakan yang ia lakukan sudah membobol kepala seorang perempuan muda hingga darah dan isi kepalanya berhamburan. Dalam wawancara dengan sebuah media Belanda, belakangan Ulrici menyatakan penyesalannya atas pembunuhan yang menurutnya tak disengaja itu. “Saya terpaksa menembaknya, karena dia akan menembak saya,” ujarnya.
Selain perempuan muda itu, ia hanya menemukan sebuah buku yang berisi catatan harian milik Princen. Sadar operasinya telah gagal dan waktu gencatan senjata semakin dekat, ia lantas memerintahkan pasukannya untuk mundur dan membawa dua serdadu yang tewas di tempat itu. Gunung Rosa pun kembali sunyi.
Sementara itu, di balik bukit yang lain dari Gunung Rosa, beberapa anak buah Princen berusaha menahan komandannya yang nekat akan menyerang sendirian ke pondok yang beberapa saat mereka tinggalkan. Dalam film dokumenter White Guerilla, dilukiskan bagaimana pedih dan merasa berdosanya Princen karena harus meninggalkan Odah dan beberapa anak buahnya.
Langit di atas Gunung Rosa semakin terang. Suara burung kecil yang sempat terhenti kembali bernyanyi, mengiringi teriakan histeris Princen saat memeluk Odah yang sudah terkapar tanpa nyawa di beranda pondok sederhana tersebut. “Padahal saat memasuki pondok, aku berharap menemukan Odah di dalam dengan situasi persis seperti aku terakhir kali melihatnya…” kata Princen dalam nada pilu.
Akibat serangan menjelang gencatan senjata tersebut, 15 prajurit Pasukan Istimewa gugur. Beberapa senjata dan perlengkapan pribadi hilang. Moril pasukan bergerak jatuh ke titik nadir karena kehilangan itu. “Kami menangis. Kami tahu kami telah kehilangan mereka. Bagiku sendiri, serasa ada sesuatu yang retak di dalam saat itu. Seperti ada sesuatu yang patah dalam keseluruhan hidup. Tiba-tiba, semuanya menjadi lain… Kami menjadi tenang tapi semakin keras…” ujar Princen.
Hari berikutnya, perang telah berakhir. Kendati banyak kawannya di Siliwangi bersimpati dan kerap menghiburnya (termasuk sahabatnya Mayor Kemal Idris), namun kehilangan Odah menjadikan Princen merasakan setiap hari seperti ada sebilah bayonet yang mengerat hatinya secara perlahan bila mengingat Odah.“Sampai saat ini, wajahnya masih terbayang dan membuat jiwaku selalu terluka. Memang tadinya aku pikir sudah berlalu, tapi ternyata belum…” ujarnya kepada saya 18 tahun yang lalu.
Pagi baru saja menyeruak kawasan Perkebunan Gunung Rosa. Bulir-bulir embun masih bergulung pada hamparan hijau dedaunan pohon teh. Suara ayam hutan menjerit-jerit dari batas hutan, seolah tengah memanggil matahari yang masih malu-malu menampakan diri untuk cepat datang dan menyinari bumi.
Saya berjongkok, meraih segenggam tanah di bekas tempat Odah dan 15 prajurit Siliwangi gugur. Selintas terngiang, suara lemah Princen tua ditelinga saya: “Bahwa aku seorang pemberontak dan pengkhianat, itu benar. Tapi aku bisa mempertanggungjawabkan semua yang pernah aku lakukan, kepada siapa pun termasuk kepada negeriku Belanda dan dunia…” (Hendijo)
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR