Beliau juga akan mendatangkan para pemahat Indonesia untuk memahat bongkahan-bongkahan magma beku di selatan Danau Batur seperti halnya pemandangan di Mount Rushmore, AS.
Sudah tentu gagasannya untuk menjadikan daerah Batur monumen kebudayaan dunia memang sulit dilaksanakan di pulau yang masih sarat dengan budaya tradisionalnya.
Setidaknya, ide-idenya yang terlalu kebarat-baratan harus dikawinkan dengan budaya setempat.
Buktinya, beliau mengundang penari kondang seperti Ibu Reneng atau Wayan Dibia dan KOKAR untuk mengajarkan tari Bali klasik, tetapi juga menciptakan tari Bali kontemporer yang kemudian dipentaskan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Memang untuk mewujudkan gagasannya di P. Bali, beliau mengalami banyak hambatan yang justru semakin mempertegar tekadnya.
Masa-masa paling sulit terjadi saat peristiwa Malari pada tahun 1974. Pada waktu itu ada instruksi dari menteri dalam negeri untuk mewaspadai orang-orang eks PSI. Akibatnya, beberapa oknum berusaha untuk merebut kompleks yang sedang dibangun itu.
Bersama Prof. Moerdowo, Pak Takdir punya andil dalam keberhasilan penelitian saya di Desa Trunyan.
Dengan dijemput dua kali sebulan ke Toya Bungka, saya dapat memerangi rasa jemu di Desa Trunyan, sehingga kesejahteraan jiwa saya terpelihara selama penelitian di lapangan.
Malah Pak Takdir menawarkan agar saya tinggal di vilanya pada malam hari. Namun, saya menolak, karena agar dapat mengadakan penelitian dengan metode pengamatan terlibat (participation observation), saya harus hidup seperti orang Desa Trunyan.
Sewaktu ada kabar Desa Trunyan akan diserbu orang Desa Kedisan akibat berebut turis, Pak Takdir segera mengirim motorboat untuk mengungsikan saya dari daerah persengketaan.
Tapi maksud baiknya terpaksa tak dapat saya penuhi. Soalnya, talau saya lari pada waktu orang Desa Trunyan sedang berada dalam kesukaran, saya bisa dianggap pengkhianat. Hubungan yang telah terbina dengan penduduk desa bisa rusak.
Saya juga banyak merongrong keluarga Pak Takdir, antara lain meminta bantuan istrinya, Ibu Margaret, untuk menghubungi ayah saya di Jakarta untuk mengambilkan lensa kontak cadangan saya pengganti lensa kontak saya yang hilang.
Pak Takdir akan selalu dikenang, lebih-lebih oleh penduduk Lintang Danau Batur. Nama beliau bahkan identik dengan Desa Toya
Bungka. Jika ini dianggap dewa setempat disebut sebagai Betara Kawitan. Selamat jalan Pak Takdir, pribadi Anda yang konsisten dan tegar menghadapi cobaan akan selalu saya kenang.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR