Dalam rangka mengenang Prof. James Danandjaja (guru besar Antropologi Universitas Indonesia) yang meninggal pada 21/10/2013, Intisari-Online.com memuat kembali beberapa tulisan beliau di Majalah Intisari.
Salah satunya adalah artikel berikut dengan judul asli “Sutan Takdir Alisjahbana: Betara Kawitan dari Toya Bungka” yang diterbitkan di Majalah Intisari edisi 375 tahun 1994.
Intisari-Online.com - Pertama kali bertemu Pak Takdir di Desa Kedisan, tempat penyeberangan di Danau Batur untuk mencapai Desa Trunyan dan Toya Bungka, pada tahun 1974, saya sedang melakukan penelitian untuk disertasi di Desa Trunyan.
Kalau Desa Trunyan sudah berusia ± 10 abad (833 caka), maka Desa Toya Bungka baru ada sejak Pak Takdir mulai membangun kompleks Balai Seni Toya Bungka yang pada tahun 1973 masih merupakan perladangan bagi orang-orang Desa Batur dan Songan.
Dengan dibangunnya kompleks Balai Seni Toya Bungka, yang menelan banyak dana, berdatangahlah orang-orang dari desa sekitar Danau Batur untuk membangun kios dan warung nasi.
Kini, kios itu sudah berubah menjadi rumah-rumah penginapan bagi para wisatawan yang ingin menikmati panorama Danau dan Gunung Batur; atau berendam di kolam-kolam air panas yang ada di sana.
Saat itu beliau pincang dan harus bertongkat, karena mengalami kecelakaan di Roma. Tetapi, kondisi itu tidak menghambatnya untuk menjelajahi tanah berbukit di kaki G. Batur.
Sejak itu jika Pak Takdir mengunjungi Toya Bungka, saya selalu dijemput asistennya dengan motorboat untuk bermalam di vilanya.
Kepada kawan-kawannya, seperti Soedjatmoko, Umar Khayam, Satyagraha Hoerip, Suryabrata, I Made Bandem, dll. beliau selalu mengatakan bahwa saya diundang untuk berdialog, meski nyatanya lebih banyak bersifat monolog.
Sebab, beliau senang menyampaikan ide-idenya, meskipun tidak semua dapat dilaksanakan di P. Bali.
Misalnya beliau berangan-angan menjadikan Toya Bungka yang panoramanya menakjubkan menjadi pusat bertemunya para pemikir kaliber internasional.
Rencana pertamanya adalah mengundang Arnold Toynbee, sejarawan kondang dari Inggris untuk memberikan ceramah.
Beliau juga akan mendatangkan para pemahat Indonesia untuk memahat bongkahan-bongkahan magma beku di selatan Danau Batur seperti halnya pemandangan di Mount Rushmore, AS.
Sudah tentu gagasannya untuk menjadikan daerah Batur monumen kebudayaan dunia memang sulit dilaksanakan di pulau yang masih sarat dengan budaya tradisionalnya.
Setidaknya, ide-idenya yang terlalu kebarat-baratan harus dikawinkan dengan budaya setempat.
Buktinya, beliau mengundang penari kondang seperti Ibu Reneng atau Wayan Dibia dan KOKAR untuk mengajarkan tari Bali klasik, tetapi juga menciptakan tari Bali kontemporer yang kemudian dipentaskan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Memang untuk mewujudkan gagasannya di P. Bali, beliau mengalami banyak hambatan yang justru semakin mempertegar tekadnya.
Masa-masa paling sulit terjadi saat peristiwa Malari pada tahun 1974. Pada waktu itu ada instruksi dari menteri dalam negeri untuk mewaspadai orang-orang eks PSI. Akibatnya, beberapa oknum berusaha untuk merebut kompleks yang sedang dibangun itu.
Bersama Prof. Moerdowo, Pak Takdir punya andil dalam keberhasilan penelitian saya di Desa Trunyan.
Dengan dijemput dua kali sebulan ke Toya Bungka, saya dapat memerangi rasa jemu di Desa Trunyan, sehingga kesejahteraan jiwa saya terpelihara selama penelitian di lapangan.
Malah Pak Takdir menawarkan agar saya tinggal di vilanya pada malam hari. Namun, saya menolak, karena agar dapat mengadakan penelitian dengan metode pengamatan terlibat (participation observation), saya harus hidup seperti orang Desa Trunyan.
Sewaktu ada kabar Desa Trunyan akan diserbu orang Desa Kedisan akibat berebut turis, Pak Takdir segera mengirim motorboat untuk mengungsikan saya dari daerah persengketaan.
Tapi maksud baiknya terpaksa tak dapat saya penuhi. Soalnya, talau saya lari pada waktu orang Desa Trunyan sedang berada dalam kesukaran, saya bisa dianggap pengkhianat. Hubungan yang telah terbina dengan penduduk desa bisa rusak.
Saya juga banyak merongrong keluarga Pak Takdir, antara lain meminta bantuan istrinya, Ibu Margaret, untuk menghubungi ayah saya di Jakarta untuk mengambilkan lensa kontak cadangan saya pengganti lensa kontak saya yang hilang.
Pak Takdir akan selalu dikenang, lebih-lebih oleh penduduk Lintang Danau Batur. Nama beliau bahkan identik dengan Desa Toya
Bungka. Jika ini dianggap dewa setempat disebut sebagai Betara Kawitan. Selamat jalan Pak Takdir, pribadi Anda yang konsisten dan tegar menghadapi cobaan akan selalu saya kenang.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR