Intisari-Online.com-SosokPangeran Diponegoroyang dikenal sebagai pahlawan legendaris pasti sudah tidak asing di telinga Anda.
Pangeran Diponegoro memimpin kurang lebih 100.000 pasukan dalam Perang Jawa.
Sedang pasukan Belanda dipimpih oleh Jenderal Hendrik Merkus de Kock hanya memiliki kekuatan 50.000 pasukan.
Meski begitu, akibat perang ini, penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 jiwa
Namun Perang yang dikobarkanPangeran Diponegoropada tahun 1825-1830 membuat Belanda juga kehilangan ribuan tentara dan biaya.
Ia lahir di Yogyakarta pada 11 November 1785.Pangeran Diponegoromerupakan putra tertua Sultan Hamengkubuwono III.
Perang Jawa sendiri dipicu oleh reformasi tanah yang dilakukan Belanda untuk melemahkan perekonomian para bangsawan Jawa.
Perang dengan Belanda Dikutip dari beritaKompas.com, Perang Diponegoro dimulai ketika Belanda memasang tanda di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo.
Geram dengan aksi tersebut, sang Pangeran kemudian menantang Belanda.
Perang Diponegoro menyebar luas hingga ke Pacitan dan Kedu.
Beberapa tokoh saat itu juga bergabung.
Seperti Kyai Maja, tokoh agama di Surakarta, kemudian SISKS Pakubuwono VI, dan Raden Tumenggung Prawirodigdaya.
Tahun 1827, posisi Diponegoro terjepit karena Belanda menyerang dengan lebih dari 23.000 prajurit.
Pada 1829, Kyai Maja ditangkap. Menyusul kemudian Sentot Alibasya.
Pada tanggal 28 Maret 1830, pasukan Belanda yang dipimpin Jenderal De Kock berhasil mendesak Diponegoro di Magelang.
Namun menurutSaleh As’ad Djamhari, sejarawan dan pemerhati militer,Perang Jawa itu sudah disiapkan selama 12 tahun.
“Diponegoro telah melakukan konspirasi dalam senyap dengan sabar, tertutup, dan rahasia,” ungkapnya sebagaimana diwartakanNational Geographic.
Sang pangeran itu membentuk jaringan dengan para bekel, demang, bupati, ulama, santri, dan petani untuk menyusun kekuatan.
Lewat dana sokongan dari para bangsawan dan perampasan konvoi logistik Belanda, dia menyiapkan pabrik mesiu di pinggiran Yogyakarta dan membeli bedil locok berpicu—mungkin buatan Prusia.
Peter Brian Ramsay Carey, salah satu sejarawan sohor asal Inggris Raya, mengatakan bahwa tahun-tahun awal perang memang penuh teror terhadap warga China.
Pasukan Diponegoro menyerukan kebencian kepada orang-orang China, bahkan membantai mereka.
Lebih jauh, para pasukan Pangeran Diponegoro ditengarai sebagai para pemadat.
Candu secara luas digunakan sebagai obat perangsang dan bagian ilmu ketabiban Jawa untuk menyembuhkan aneka penyakit.
Ketika perasaan anti-China pada bulan-bulan awal peperangan sedikit mereda, orang China mendapat keuntungan sebagai bandar candu di garis belakang.
Selama Perang Jawa ada laporan bahwa banyak prajurit Diponegoro jatuh sakit karena ketagihan madat.
Laporan Kapten Raden Mas Suwangsa, perwira kavaleri Legiun Mangkunagaran yang tertangkap laskar Diponegoro dan dibawa ke Desa Selarong pada masa awal Perang Jawa.
Dia mengungkapkan, “Para pangeran biasanya tidur hingga pukul sembilan atau sepuluh pagi dan beberapa di antara mereka menjadi budak madat.”
(*)