Intisari-Online.com – Siapa sih yang tidak suka cerita tentang kota emas yang hilang, Anda pastinya suka juga ‘kan mendengarnya?
Melalui film-film bioskop kita sering melihat cerita dongeng tentang kerajaan yang terlupakan yang hilang selama berabad-abad dan tersembunyi di bawah kanopi hutan yang terbentang luas.
Banyak legenda seperti itu yang mengilhami ekspedisi dalam kehidupan nyata ketika para penjelajah mengejar impian mereka dan mencari yang mistis.
Banyak usaha tersebut terbukti sia-sia, mahal, dan lebih sering daripada tidak, mematikan.
Namun, sering kali sejarah membuat kita patah semangat, tetapi terkadang petunjuk yang menggiurkan muncul dari tempat yang paling tidak terduga.
Di kedalaman Sungai Musi yang keruh, salah satu bentangan air paling tercemar di dunia, terletak harta karun yang sarat dengan emas, permata, dan artefak sejarah yang menandakan keberadaan kota yang hilang, yaitu Sriwijaya.
Digambarkan sebagai peradaban besar terakhri yang hilang yang tidak pernah terdengar oleh siapa pun, ‘Pulau Emas’ ini terletak di Sumatera dan menguasai Indonesia serta sebagian besar Asia Tenggara selama lebih dari 600 tahun.
Itu menghilang tanpa jejak sekitar abad ke-14 dan keberadaannya terlupakan.
Barulah pada awal abad ke-20, seorang sejarawan Prancis, George Coedes, menemukan kembali namanya ketika menelusuri manuskrip China dan prasasti batu.
Sebagian besar informasi tentang kota itu berasal dari pelancong asing yang berbicara tentang tanah emas yang dikelilingi oleh gunung berapi asap dan api, upar pemakan manusia, dan burung beo warna-warni yang bisa meniru banyak bahasa, sekilas menggoda ke dunia eksotik yang terlupakan.
Beberapa saat kemudian setelah penemuan Coedes, pencarian kota yang hilang secara resmi dimulai meskipun bukti fisik keberadaannya sulit ditemukan, terutama karena Sriwijaya adalah kerajaan terapung.
Selain candi dan tempat tinggal kerajaan, sebagian besar masyarakat Sriwijaya tinggal di rumah terapung yang terbuat dari bambu, kayu, dan jerami.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR