Sebabkan 149 Orang Indonesia Tewas di Malaysia, Terkuak Kekejaman Otoritas Imigrasi Malaysia, Kurung Ratusan Imigran Dalam Kondisi Tak Manusiawi, Sampai Disebut Mirip Zaman Kolonial

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Penulis

Bendera Malaysia.
Bendera Malaysia.

Intisari-online.com - Kelompok hak asasi manusia menuduh otoritas imigrasi Malaysia menyebabkan kematian 149 warga negara Indonesia.

Mengutip Reuters, Selasa (28/6/22) Mereka menjadi sasaran brutal saat ditahan di depot penahanan selama 18 bulan terakhir.

Dalam sebuah laporan berjudul Like in Hell, LSM Indonesia mengatakan ada kurangnya kepedulian terhadap kesejahteraan tahanan dari petugas yang bertanggung jawab.

Atas fasilitas di negara bagian Sabah di Borneo Malaysia, di mana hingga 260 orang .

Termasuk anak-anak, diduga dijejalkan ke dalam sel tak berjendela seukuran lapangan bulu tangkis, yang dilengkapi tiga toilet.

Dalam satu contoh, petugas depot diduga meninggalkan seorang tahanan bernama Nathan, yang memiliki sindrom Down dan berusia 40-an mati.

Tanpa tidak menawarkan dukungan kesehatan meskipun dia telah sakit untuk waktu yang lama, menurut Abu Mufakhir, seorang aktivis dengan Koalisi Migran Buruh Berdaulat, atau Koalisi Buruh Migran Berdaulat, yangmemberikan laporan tersebut.

"Beberapa kali petugas meremehkan kondisi Nathan dengan mengatakan 'kamu masih bisa bertahan kan?', dan hanya memberinya (parasetamol)," kata Abu pada peluncuran laporan akhir pekan lalu di Sabah.

Baca Juga: Amerika Syok Melihat Ulah Rusia, Putin Mendadak Bongkar Lokasi Pentagon, Markas NATO, Hingga Kediaman Presiden Prancis Lewat Citra Satelit, Benarkah Rusia Ingin Hancurkan Amerika dan Sekutunya?

Nathan meninggal di pusat penahanan Tawau pada bulan Maret. Penyebab kematiannya tidak disebutkan dalam sertifikat kematiannya.

Korban tewas yang dikutip dalam laporan itu didasarkan pada data yang diberikan kepada Koalisi Buruh Migran Berdaulat oleh kedutaan Malaysia di Jakarta, yang melaporkan 2.191 deportasi antara Januari 2021 hingga 24 Juni tahun ini.

Abu mengatakan seorang tahanan lain, Aris bin Siang, meninggal pada bulan September di pusat Tawau setelah diduga ditolak perawatan medisnya, meskipun telah kehilangan kesadaran beberapa kali selama enam bulan penahanannya.

"Enam persen dari mereka yang ditahan meninggal. Ini bukan sesuatu yang bisa terjadi dalam keadaan normal," kata Abu tentang jumlah korban tewas.

"Tidak ada air bersih, makanannya mengerikan, bagaimana mungkin orang tidak mati ketika mereka hanya tidur dua hingga tiga jam sehari?" katanya.

Pejabat dengan departemen imigrasi tidak segera menanggapi permintaan komentar.

LSM tersebut juga menyoroti wabah kudis di antara para tahanan, serupa dengan situasi yang dilaporkan oleh portal berita Malaysia Malaysiakini pada warga negara China yang ditahan di Johor.

Ia menderita "bisul dan borok kulit" termasuk pada alat kelamin mereka yang tidakkunjung sembuh bahkan lima bulan setelahnya.

Laporan Indonesia mengklaim bahwa ketika para tahanan meminta obat kepada petugas imigrasi,tetapi mereka diejek dengandisuruh mendekatkan tangan ke dada dan menggaruk,lalu mengatakan: "Nah, itu obatnya."

Mengomentari dugaan perlakuan tidak manusiawi oleh petugas Malaysia, Dinda Nuur Annisaa Yura dari Solidaritas Perempuan mengatakan itu mirip dengan sikap era kolonial di mana tahanan tidak hanya dihukum, tetapi juga "didominasi".

"Dari sini kita melihat paradigma, cara pandang yang tidak melihat para tahanan ini sebagai manusia," kata Dinda.

Kementerian Dalam Negeri Malaysia, yang mengawasi departemen imigrasi dan operasinya, sejak 2019 melarang akses luar ke pusat-pusat penahanan negara itu, termasuk ke UNHCR, badan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Tom Andrews, Pelapor Khusus PBB untuk situasi di Myanmar, mengatakan dalam kunjungannya baru-baru ini ke Malaysia bahwa dia tidak diberi akses ke depot-depot untuk bertemu dengan para pengungsi Myanmar di sana.

Ia juga tidak mendapat tanggapan atas beberapa surat yang dikirim ke Kementerian Dalam Negeri untuk mencari pertemuan.

"Saya sangat prihatin dengan laporan bahwa ratusan anak mungkin berada di fasilitas ini, termasuk anak-anak korban perdagangan manusia. Anak-anak tidak boleh ditempatkan di fasilitas penahanan migrasi," kata Andrews.

Artikel Terkait