Fa-Hien menjelaskan bahwa penganut agama Hindu lebih banyak dibandingkan dengan penganut agama Buddha.
Runtuhnya Kerajaan Tarumanegara
Linggawarman yang merupakan raja Kerajaan Tarumanegara terakhir digantikan oleh menantunya Tarusbawa pada tahun 669 M.
Saat itu Linggawarman memiliki dua orang putri, yaitu Manasih yang kemudian menjadi istri Tarusbawa (berasal dari Kerajaan Sunda Sumbawa), dan Sobakancana, yang menjadi istri Dapuntahyang Sri Jayanasa (pendiri Kerajaan Sriwijaya).
Ketika Linggawarman mangkat, tampuk kekuasaan diwariskan kepada menantu dari putri pertama.
Namun karena pamor Kerajaan Tarumanegara sudah mulai menurun, Tarusbawa berniat mengembalikan kejayaan zaman Raja Purnawarman yang berkedudukan di Purasaba (ibukota Sundapura).
Sekitar tahun 670 M, Tarusbawa mengganti nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda.
Inilah yang dijadikan alasan Wretikandayun dari Kerajaan Galuh kemudian memisahkan dari kekuasaan Tarusbawa.
Karena putra mahkota Kerajaan Galuh berjodoh dengan Sanaha (Putri Maharani Sima dari Kerajaan Kalingga), maka Kerajaan Galuh mendapatkan dukungan Kerajaan Kalingga untuk menuntut Tarusbawa agar bekas wilayah kekuasaan Kerajaan Tarumanegara dibagi menjadi dua.
Posisi yang tidak menguntungkan serta menghindari terjadinya perang saudara, akhirnya Tarusbawa menerima tuntutan Kerajaan Galuh.
Pada tahun 670 M, wilayah Kerajaan Tarumanegara dibagi menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.
Dengan pecahnya wilayah Kerajaan Tarumanegara menjadi dua, maka berakhirlah kekuasaan Kerajaan Tarumenagara. (*/pelbagai sumber)
Baca Juga: Inilah Bukti Sejarah 7 Prasasti Peninggalan Kerajaan Tarumanegara
Baca Juga: Bukti Peninggalan Kerajaan Tarumanegara; Sumber Sejarah Tertulis
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR