Intisari-Online.com -Sebutan nyai pada masa kolonial ditujukan kepada perempuan muda, setengah baya yang menjadi ”gundik” atau ”perempuan simpanan” orang asing, khususnya orang Eropa.
Sebutan ini, menurut anggapan orang Eropa pada masa itu, setara dengan concubine, bijwijf, atau selir yang meniru kebiasaan para raja di Nusantara.
Nyai pada masa kolonial kerap disandingkan dengan urusan dapur dan kasur yang berfungsi sebagai 'teman' bagi para pria Eropa kesepian.
Membicarakan nyai berarti menelusuri sejarah terbentuknya status dan institusi ini dalam masyarakat kolonial di Hindia Belanda, khususnya pergeseran makna nyai dalam masyarakat.
Melansir Kompas.com, dalam Encylopaedie Nederlandsch Indie(1919), nyahi (nyai) merupakan panggilan kehormatan untuk perempuan yang lebih tua.
Istilah nyai dipasangkan dengan kiai, gelar kehormatan bagi seorang pria yang dianggap lebih tua serta mumpuni dalam ilmu dan pengalaman hidup.
Dengan demikian, istilah nyai mengalami pergeseran seiring dengan berdatangannya perempuan kulit putih (Eropa) ke Hindia.
Menurut Jean Gelman Taylor, pergeseran istilah nyai sebagai ”pembantu pribumi” bagi pria Eropa berlaku sejak awal 1826 meskipun sebenarnya jauh sebelumnya istilah nyai sudah dipakai.
Di antara berbagai tulisan yang membahas kisah per-nyai-an atau yang lebih sering disebut sebagai concubinat (pergundikan) di Hindia Belanda.
Misalnya kisah Lamira kelahiran Surabaya tahun 1853. Ia beribu seorang Jawa dan ayahnya dari kalangan Mardijker, para peranakan Portugis yang masih bisa berbicara bahasa Portugis.
Lamira bertemu dengan Johannes, seorang Indo-Eropa yang bekerja sebagai juru sita di Kediri, Jawa Timur.
Johannes lalu menjadikan Lamira sebagai nyai dan hidup layaknya suami-istri.
Mereka dikaruniai empat anak. Pada tahun 1881 Johannes meninggal dunia.
Anak-anak mereka diadopsi oleh keluarga Johannes sehingga mendapat hak seperti orang Eropa.
Lamira kemudian menikah dengan seorang Eropa dan akhirnya pergi ke Belanda.
Ia tutup usia pada usia 105 tahun di Den Haag.
Kisah nyai yang lain adalah kisah Saila yang lahir dari sebuah keluarga miskin di Jawa Barat tahun 1884.
Saila tidak bisa membaca. Ia hanya dapat bicara bahasa Melayu dan paham bahasa Belanda.
Ia bertemu dengan Edward dari Belgia. Tahun 1900, ia dijadikan nyai oleh Edward.
Dari Edward, Saila mendapatkan delapan anak: lima perempuan dan tiga laki-laki.
Edward yang bekerja sebagai sipir penjara mendapat nasib sial.
Ia tewas ketika bekerja. Anak-anak yang masih kecil dititipkan di panti asuhan Vincentius, Batavia.
Sementara anak-anaknya yang lebih tua telah menikah. Saila pun akhirnya menikah dengan seorang pribumi dan dikaruniai seorang anak.
Namun, Saila masih tetap berhubungan dengan anak-anaknya dari Edward.
Anak-anak yang paling tua pun membantu secara finansial, di samping mendapat uang pensiun dari Edward.
Ketika pecah perang, anak-anak Saila tidak dimasukkan ke dalam kamp karena mereka berdarah campuran.
Seusai perang, anak-anak Saila berangkat ke Belanda. Saila tetap tinggal di Indonesia. Ia tinggal dengan anak laki-lakinya yang paling kecil di sebuah rumah kecil di Jakarta.
Saila meninggal tahun 1972 di usia 88 tahun. Sebagai kenangan atas Saila, seorang cicitnya diberi nama Saila.
(*)