Ada Untungnya Juga 'Memakan Manusia?', Suku Fore di Papua Nugini yang Terkenal sebagai 'Pemakan Sesama' Nyatanya Jadi Kebal Terhadap Penyakit Ini

Muflika Nur Fuaddah
Muflika Nur Fuaddah

Editor

(Ilustrasi) Suku Fore di Papua Nugini yang Terkenal sebagai 'Pemakan Sesama'
(Ilustrasi) Suku Fore di Papua Nugini yang Terkenal sebagai 'Pemakan Sesama'

Intisari-Online.com- Praktik memakan sesamayang dilakukan salah satusukudi Papua Nugini pernah menyebabkan menyebarnya penyakit otak fatal yang disebut kuru.

Kuru pernah mengakibatkan wabah dahsyat di kelompok tersebut.

Pada awal abad ke-20, anggotasukumulai mengembangkan kuru, gangguan saraf yang disebabkan oleh prion menular, yaitu protein yang melipat secara tidak normal dan membentuk lesi di otak.

Ini adalah awal dari epidemi kuru di antara orang-orang Fore, yang pada puncaknya terjadi pada 1950-an.

Epidemi ini membunuh hingga 2 persen anggota suku setiap tahun.

Tapi sekarang, beberapa anggotasukutersebut membawa gen yang tampaknya melindungi dari kuru, serta apa yang disebut "penyakit prion", seperti sapi gila.

MelansirLive Science, suku Papua Nugini, yang dikenal sebagai orang Fore, biasa melakukan ritual pemakaman yang melibatkan memakan otak manusia.

Suku Fore di Papua Nugini
Suku Fore di Papua Nugini

Suku tersebut berhenti mempraktikkan kanibalisme pada akhir 1950-an, yang menyebabkan penurunan kuru.

Tetapi karena penyakit ini bisa memakan waktu bertahun-tahun untuk muncul, kasus terus muncul selama beberapa dekade.

Tahun 2015, para peneliti menemukan bahwa beberapa orang yang selamat dari epidemi kuru membawa mutasi genetik yang disebut V127.

Sedangkan mereka yang mengembangkan kuru tidak memiliki mutasi ini.

Hal ini membuat para peneliti curiga bahwa V127 memberikan perlindungan terhadap penyakit tersebut.

Dalam sebuah studi baru, para peneliti merekayasa genetika tikus dengan memberinya mutasi V127, dan kemudian menyuntikkan hewan tersebut dengan prion menular.

Hasil menunjukkan bahwa tikus dengan satu salinan mutasi 127V resisten terhadap kuru, serta penyakit serupa yang disebut penyakit Creutzfeldt-Jakob klasik.

Tikus dengan dua salinan V127 tahan terhadap penyakit tersebut, serta penyakit prion lainnya, yang disebut penyakit varian Creutzfeldt-Jakob (sapi gila).

Meskipun penghentian kanibalisme di antara orang-orang Fore menyebabkan penurunan kasus kuru, studi tahun 2015 juga menunjukkan bahwa jika penyakit itu terus menyebar.

Penting untuk dicatat bahwa praktik kanibalisme tidak secara langsung mengarah pada perkembangan resistensi terhadap kuru.

Alih-alih, mutasi ini kemungkinan sudah ada dalam populasi sebelum epidemi kuru, tetapi menjadi jauh lebih umum ketika memberikan keuntungan genetik — yaitu, orang dengan mutasi mampu bertahan dari kuru.

Seleksi sifat-sifat genetik seperti itu adalah dasar dari evolusi.

"Ini adalah contoh mencolok dari evolusi Darwinian pada manusia, epidemi penyakit prion yang memilih satu perubahan genetik tunggal yang memberikan perlindungan lengkap terhadap demensia yang selalu fatal," Dr. John Collinge, penulis senior studi dan profesor penyakit neurodegeneratif di University College London, mengatakan dalam sebuah pernyataan.

Mutasi genetik tampaknya mencegah protein prion berubah bentuk.

Memahami dengan tepat bagaimana mutasi ini terjadi dapat mengarah pada wawasan baru tentang cara mencegah penyakit prion, kata para peneliti.

Baca Juga: Terpaksa Jadi 'Pembunuh Mahir,' Seperempat Populasi Pria dari Suku di Pedalaman Hutan Asia Tenggara Ini Diincar oleh Ular Raksasa hingga Terbiasa Bawa Parang

(*)

Artikel Terkait