Intisari-Online.com -
Pertanyaan :
Selamat siang, saya ingin bertanya. Saya perempuan berusia 23 tahun. Dua bulan yang lalu, ayah saya meninggal akibat serangan jantung. Sebelumnya ayah saya ini telah 2 kali menikah dan saya adalah anak dari pernikahan yang pertama.
Menurut istri dan anak-anak ayah saya itu (pernikahan kedua), saya tidak berhak atas harta warisan ayah saya. Karena sewaktu saya masih di dalam kandungan ibu saya, ibu dan ayah saya telah mengajukan pembatalan perkawinan.
Namun, semasa ayah saya hidup, saya tidak kekurangan kasih sayang atau materi dari dia. Dia mengakui bahwa saya adalah anaknya dan di akta perkawinan saya pun tercantum nama dia.
Saya ingin bertanya, seperti apakah aturan hukum pembagian harta warisan terhadap anak dari perkawinan yang telah dibatalkan? Terima kasih.
Asih, Kebayoran.
Jawaban :
Terima kasih atas pertanyaan saudari. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dapat kami jelaskan demikian.
Dalam hal ini, saudari tidak menjelaskan agama yang dianut oleh ayah saudari, maka kami akan menggunakan 2 (dua) peraturan, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) apabila ayah saudari beragama non-muslim dan Kompilasi Hukum Islam apabila ayah saudari beragama muslim.
(Baca juga: Inilah Aturan Hukum Mengadopsi Anak: Syarat Calon Orangtua Angkat)
Menurut Pasal 28 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menyebutkan bahwa:
“(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap :
a. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b. ......
c. ......”
Sedangkan didalam Pasal 75 KHI yang menyebutkan bahwa:
“Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:
“Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah lahir, setiap kali kepentingan si anak mengehandakinya. Bila telah mati sewaktu dilahirkan, dia dianggap tidak pernah ada”.
(Baca juga: Apa Aturan Hukum Jika Kita Menggunakan Uang yang Salah Ditransfer oleh Bank?)
Maka menurut peraturan tersebut, walaupun orang tua saudari sudah melakukan pembatalan perkawinan sejak saudari masih didalam kandungan, tidak berarti hubungan keperdataan saudari dengan ayah saudari menjadi batal. Saudari tetap berhak terhadap harta warisan tersebut karena saudari merupakan keluarga sedarah dari ayah saudari. Hal tersebut diatur didalam Pasal 832 KUHPerdata yang berbunyi :
“Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang diluar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama menurut peraturan-peraturan berikut ini”.
Dan diatur didalam Pasal 174 KHI yang berbunyi :
“Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :
- Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek”.
Apabila istri dan anak-anak dari pernikahan ayah saudari yang kedua menghalang-halangi saudari untuk mendapatkan harta warisan yang sudah menjadi hak saudari, maka saudari dapat mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri di wilayah domisili istri atau anak-anak dari pernikahan ayah saudari yang kedua.
Apabila ayah saudari beragama non muslim, atau mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama di wilayah domisili istri atau anak-anak dari pernikahan ayah saudari yang kedua, apabila ayah saudari beragama muslim.
Namun apabila harta warisan tersebut berupa benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama di wilayah benda bergerak tersebut berada. Hal ini diatur didalam Pasal 834 KUHPerdata yang berbunyi:
“Ahli waris berhak mengajukan gugatan untuk memperoleh warisannya terhadap semua orang yang memegang besit atas seluruh atau sebagian warisan itu denga alas hak ataupun tanpa alas hak, demikian pula terhadap mereka yang dengan licik telah menghentikan besitnya.
Dia boleh mengajukan gugatan itu untuk seluruh warisan bila ia adalah satu-satunya ahli waris, atau hanya untuk sebagian bila ada ahli waris lain. Gugatan itu bertujuan untuk menuntut supaya diserahkan apa saja yang dengan alas hak apapun ada dalam warisan itu, beserta segala penghasilan, pendapatan dan ganti rugi, menurut peraturan-peraturan yang termaktub dalam Bab III buku ini mengenai penuntutan kembali hak milik”.
Atau didalam Pasal 188 KHI yang berbunyi:
“Para ahli waris secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada di antara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka uang bersangkutan dapat mengakukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan”.
Demikian yang dapat kami jelaskan, semoga bermanfaat.
(LBH Mawar Saron)
Dasar hukum :