Intisari-Online.com – Ini adalah kisah aneh yang sebenarnya melibatkan instruktur penerbangan, keluarga, dan permintaan pribadi, sampai-sampai pemerintah Jepang menyembunyikannya.
Hajime Fujii lahir pada 30 Agustus 1915 di Prefektur Ibaraki sebagai anak tertua dari tujuh bersaudara.
Dia kemudian bergabung dengan tentara dan menjadi penembak mesin yang sangat terampil, hingga mereka mengirimnya ke China, yang telah dipecah Jepang sejak 1931.
Sayangnya, orang China tidak menyukainya, sehingga Fujii terkena mortir yang melukai tangan kirinya, hingga dikirim ke rumah sakit dan dirawat oleh Fukuko, seorang perawat lapangan yang cantik dari Kota Takasaki, Prefektur Gunma.
Saling cinta pada pandangan pertama, mereka kembali ke Jepang lalu menikah, dan memiliki dua putri yang menggemaskan, yaitu Kazuko dan Chieko.
Namun, Angkatan Darat menahan Fujii di Jepang dan mengirimnya ke Akademi Korps Udara Angkatan Darat, yang kemudian lulus pada tahun 1943.
Fujii lalu menjadi komandan kompi di Sekolah Penerbangan Angkatan Darat Kumagaya di Kaitama, dan ditugaskan untuk mengajar karakter murid-muridnya serta disiplin mental.
Termasuk menanamkan rasa loyalitas dan patriotisme mendalam, seperti nilai menabrakkan pesawat ke kapal dan kamp musuh.
Menurut beberapa muridnya yang masih hidup, Fujii sering mengatakan kepada mereka bahwa dia akan mati bersama mereka jika dia bisa.
Sayangnya, dia tidak bisa melakukan itu, peluru mortir tidak hanya mengenai tangan kirinya, tetapi membuatnya tidak dapat memegang tongkat kendali pesawat.
Semakin dia mengungkapkan keinginannya untuk mati bersama murid-muridnya, semakin semuanya menggodanya.
Saat itu, Jepang tidak memasuki teater Perang Dunia II dengan niat untuk menciptakan pilot kamikaze dan mengirim mereka dalam misi bunuh diri, dengan harapan mendapatkan kemenangan dengan cepat.
Sayangnya, Jepang tidak bisa bersaing dengan industri Amerika, setelah serangkaian kekalahan yang menghancurkan dari Sekutu, industri Jepang tidak bisa memproduksi cukup kapal dan pesawat untuk menggantikan mereka yang terus-menerus kalah.
Lebih buruknya lagi, Jepang kehabisan orang yang berpengalaman, dan ini menjadi masalah serius bagi Jepang.
Karena putus asa, Angkatan Darat menciptakan Unit Pasukan Serangan Khusus yang disebut tokktai atau shimbu-tai, yaitu regu bunuh diri yang terdiri dari Angkatan Darat dan Angkatan Laut.
Fujii memiliki moto favorit, yaitu ‘kata-kata dan perbuatan harus konsisten’.
Maka, setelah berbulan-bulan menyuruh murid-muridnya untuk bunuh diri dengan menabrak musuh, dia pun ingin melakukan hal yang sama dengan bergabung dengan kamikaze.
Sayang sekali, Fujii menjadi korban dari kesuksesannya sendiri.
Populer di kalangan siswa dan stafnya, namun ketika ingin membuktikan kemampuannya di China, Angkatan Darat menolak permintaannya.
Hanya karena fakta dia adalah seorang pria yang sudah berkeluarga, sedangkan sebagian besar dari mereka yang dikirim dalam misi adalah pria lajang.
Fukuko, istrinya, juga memohon kepadanya untuk tidak ikut perang, karena dia memiliki dua anak perempuan yang masih kecil, melansir War History Online.
Jika Fujii mati, apa yang akan terjadi pada anak-anaknya?
Tetapi, karena semakin banyak muridnya yang pergi dalam misi bunuh diri dan tidak pernah kembali, Fujii merasa mengkhianati lingkungannya, dia merasa seperti orang munafik, maka dia kembali memohon kepada Angkatan Darat untuk membiarkannya mati, tapi mereka tetap menolaknya.
Kini, Fukuko yang merasa terjebak. Jika Fujii tinggal di Jepang, dia memiliki suaminya, dan putrinya memiliki seorang ayah, tetapi dia akan selamanya dihantui oleh pengkhianatan yang dirasakannya sendiri terhadap murid-muridnya dan negaranya.
Dia akan menjadi hantu (‘roh redup’ dalam bahasa Jepang, hanya setengah hidup, dia bisa menghilang begitu saja, tetapi yang paling buruk, dia akhrinya akan menyalahkan istri dan anak-anaknya atas aibnya.
Akhirnya, pagi hari tanggal 14 Desember 1944, saat suaminy apergi ke Kumagaya, Fukuko mendandani dirinya dengan kimono terbaiknya.
Dia melakukan hal yang sama dengan anak-anaknya, Kazuko yang berusia tiga tahun dan Chieko yang berusia satu tahun.
Lalu, dia menulis surat kepada suaminya, mendesaknya untuk melakukan tugasnya ke negara dan tidak mengkhawatirkan keluarganya. Mereka akan menunggunya.
Kemudian Fukuko membungkus Chieko dengan tas ransel kain dan mengikatkan bayi itu ke punggungnya.
Sambil menggandeng tangan Kazuko, dia berjalan menuju Sungai Arakawa dekat sekolah tempat suaminya mengajar.
Dia mengambil tali, lalu mengikat pergelangan tangan Kazuko ke tangannya sendiri, dan melompat ke air yang membeku.
Polisi menemukan mayat mereka keesokan paginya, dan Fujii dibawa ke lokasi saat mereka dibaringkan.
Malam harinya, Fujii menulis surat kepada putri sulungnya, memohon padanya untuk merawat ibu dan adik perempuannya sampai dia bisa bergabung dengan mereka.
Kemudian Fujii melkaukan yubitsume (memotong jari kelingkingnya), dan dengan darahnya sendiri, dia menuliskan permohonan ketiganya kepada Angkatan Darat.
Pada tanggal 8 Februari 1945, Fujii menjadi komandan Skuadron Shinbu ke-45, yang dia beri nama Kaishin (semangat ceria).
Tepat sebelum fajar pada tanggal 28 Mei, sembilan pesawat menuju ke Okinawa, masing-masing membawa seorang pilot dan penembak, lalu mereka menemukan USS Drexler dan USS Lowry.
Dua pesawat menabrak Drexler, menenggelamkannya dalam beberapa menit dan menewaskan 158 awaknya.
Fujii ada di salah satunya, dia ‘dipertemukan’ kembali bersama keluarganya.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari