Padahal waktu itu Sutartinah baru berusia 14 tahun dan Suwardi hanya satu tahun lebih tua.
Keluarga kedua belah pihak sebenarnya berhasrat secepatnya melangsungkan perkawinan anak-anak mereka.
Namun, pelaksanaan baru terjadi beberapa tahun kemudian, tahun 1907.
Tanpa sempat disaksikan para perancangnya, Raden Sasraningrat dan Dyah Ayu Suryaningrat, yang terburu wafat tak lama sebelumnya.
Saat menikah Suwardi berusia 18 tahun, sedangkan Sutartinah 17, mengutip Majalah Intisari edisi April 1989.
Mengingat kedua mempelai masih belia, oleh Penghulu Agama Paku Alaman pernikahan itu hanya disahkan sebagai nikah gantung.
Suwardi dan Sutartinah belum diperkenankan berkumpul sebagai suami-istri. Setelah itu mereka kembali hidup masing-masing, Sutartinah mengajar, sedang Suwardi meneruskan kuliahnya di STOVIA.
Perkawinan baru benar-benar diresmikan akhir Agustus 1913, tak lama sebelum mereka bersama-sama berangkat ke Negeri Belanda.
Karenanya, perjalanan ke tanah pembuangan ini sekaligus menjadi masa bulan madu bagi pasangan pengantin baru Suwardi dan Sutartinah, yang sampai akhir hayat terus bahu-membahu memperjuangkan nasib bangsa Indonesia.
Baca Juga: Tokoh Hari Kebangkitan Nasional, Mengenal Sosok Ki Hajar Dewantara
Baca Juga: Hardiknas: Ki Hajar Dewantara Pernah Siapkan Diri Jadi Tameng Bung Karno
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR