Tahun itu juga, Ju-Yung mencoba kabur lagi dengan beberapa teman, tetapi sempat terkejar ayahnya di perjalanan. Beberapa hari kemudian, di koran ia melihat iklan sekolah akunting. Ia mencuri uang ayahnya sebanyak 70 Won - hasil penjualan sapi - dan melarikan diri pada malam hari. Sekali ini ia menumpang kereta api ke Seoul. Sisa uang yang dibawanya cuma cukup untuk membayar sekolah, makanan, dan pondokan. Ketika itu 10 April 1932.
Di sekolah ini ia sangat giat belajar. Usai belajar di sekolah, ia mengurung diri di asrama dan membaca habis beberapa buku di antaranya Riwayat Napoleon, Biografi Abraham Lincoln, dan Sam Kok (Jiga Kerajaan). Tokoh-tokoh dalam buku itu memberinya semangat hidup dan mengilhaminya untuk mencapai kebesaran jiwa.
Sialnya, potongan iklan sekolah tersebut tercecer di rumah dan ditemukan ayahnya. Ayahnya datang dan memaksanya pulang, sementara Ju-Yung bersikeras tidak mau.
"Saya tidak mau bekerja kembali di ladang. Saya tidak mau menderita terus di sana," ujarnya.
Untuk meluluhkan hatinya, sang Ayah menjawab, "Kamu tidak tahu ya, kalau seluruh keluarga sekarang berada di ambang kelaparan dan harus mengemis makanan hanya gara-gara kamu? Kamu senang ya, mereka terus seperti itu?" Ju-Yung terpaksa pulang, sebab sebagai putra sulung ia ikut bertanggung jawab memikul beban keluarga.
Dalam perjalanan pulang, mereka singgah di Istana Chang-kyong, bekas kediaman kaisar Korea terakhir. Tempat itu sudah dijadikan kebun binatang oleh penguasa Jepang. Uang masuknya 50 sen, mahal menurut ukuran kantung mereka. Demi penghematan, ayah Ju-Yung membeli satu karcis saja dan menyuruh Ju-Yung masuk, tapi Ju-Yung memaksa ayahnya ikut. Hal ini menggambarkan betapa sulitnya keuangan mereka.
Ketika kehidupan di kampungnya memburuk akibat bencana alam, Chung Ju-Yung dan temannya kabur untuk keempat kalinya. Meskipun setiba di Seoul temannya menolak melanjutkan pelarian, Ju-Yung tetap meneruskan perjalanan seorang diri ke kota pelabuhan Inchon dengan berbekal sedikit uang pinjaman dari temannya. Di Inchon dia bekerja serabutan, menjadi kuli bongkar muat kapal atau membawakan barang penumpang kapal. Hasilnya hanya cukup untuk makan. Jadi, ia mencoba mengadu untung di Seoul.
Di perjalanan, ia melewati desa Sosha yang sedang panen. Kemahirannya sebagai petani ternyata laris. Ia diminta membantu memanen dan hasil kerjanya selama lebih dari sebulan lumayan juga untuk bekal. Kemudian tibalah ia di Seoul dan bekerja sebagai salah seorang kuli yang membangun Universitas Korea sambil terus mencari pekerjaan tetap. Ia mendapat kesempatan magang di pabrik gula, tetapi imbalannya sangat kecil. Lagi pula, ia tidak bisa mendapat keterampilan teknis di sini. Untunglah, ia mendapat pekerjaan di toko hasil pertanian, Firma Bokheung. Dari pekerjaannya mengantarkan barang-barang dagangan ke pembeli, dia mendapat imbalan makan tiga kali sehari dan ½ karung beras setiap bulan. Inilah pekerjaan tetap pertama yang berhasil diraihnya. Saat itu tahun 1934, usianya kurang dari 20 tahun.
Cobaan silih berganti
Sebagai orang yang sifatnya hangat dan pekerja keras, Chung Ju-Yung berhasil memikat hati pelanggannya. Semua anak bosnya pemalas, sehingga Ju-Yung meraih kepercayaan bosnya untuk mengelola toko. Dengan hasil jerih payahnya, ia membeli tanah untuk keluarganya di Tongchon, Tak lama kemudian, ia kembali ke kampung dan dijodohkan dengan Byun Joong-Seok, perempuan muda sekampungnya. Walaupun mereka belum pernah bertatap muka sebelum pernikahan, sejak semula pernikahan mereka bahagia. Istrinya adalah jenis istri ideal menurut tradisi Timur: penuh perhatian terhadap suami, hemat, dan rajin mengurus rumah tangga.
Tidak lama kemudian Ju-Yung kembali ke Seoul. Dia menyewa sebuah rumah di sekitar Shintangdong yang menghadap ke jalan dan membuka toko hasil pertanian yang dinamai Firma Kyongil. Kondisi ekonominya pun menjadi sangat baik. Saat itu, ia baru berumur 22 tahun, berarti 4 tahun setelah kabur terakhir kalinya dari rumah.
Namun, baru 2 tahun, Jepang mengadakan agresi besar-besaran terhadap Tiongkok. Pemerintahan Jepang di Korea mengambil alih dan menguasai pengadaan bahan makanan selama masa perang. Toko Ju-Yung ditutup dan ia terpaksa mudik ke kampungnya.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR