Intisari-Online.com - Singapura mengambil sikap tegas terhadap invasi Rusia.
Melansir Channel News Asia, Perdana Menteri Lee Hsien Loong, Jumat (1 April) memilih untuk menegakkan prinsip kedaulatan dan integritas teritorial semua negara.
Posisi ini diambil Singapura “secara konsisten” selama bertahun-tahun.
Lee berkata: “Kami telah memilih prinsip dan kami menjunjung tinggi prinsip-prinsip yang sesuai dengan kepentingan nasional jangka panjang kami, dan kami menjunjungnya secara konsisten.”
Salah satu prinsip fundamental tersebut adalah tidak melanggar integritas teritorial dan kedaulatan negara.
Prinsip tersebut diabadikan dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan sekarang “dipertaruhkan” di tengah konflik yang sedang berlangsung di Ukraina.
“Itu adalah prinsip dasar yang sangat penting bagi kami karena jika itu dipertaruhkan, maka apa dasar kami untuk mengatakan bahwa kami berhak untuk hidup, dan atas keamanan dan keselamatan di dunia,” kata Perdana Menteri.
“Oleh karena itu, kami mengambil sikap yang kuat,” tambahnya, menunjuk pada pengumuman negara yang besarnya setara Jakarta itu pada Februari untuk menjatuhkan sanksi keuangan dan kontrol ekspor pada Rusia.
Konsistensi Singapura
Singapura memegang pendirian yang jelas ini secara konsisten selama bertahun-tahun, seperti ketika menentang invasi Vietnam ke Kamboja pada tahun 1978, kata Lee.
Singapura juga mengambil sikap menentang invasi Amerika Serikat ke Grenada di Majelis Umum PBB pada tahun 1983.
“Kami memilih menentang mereka di PBB. (Itu) tidak berarti kami adalah musuh AS, tetapi kami tidak dapat menyetujui apa yang mereka lakukan,” tambahnya.
Demikian pula dalam kasus Ukraina, Singapura “bukan musuh Rusia”, kata Perdana Menteri dalam bahasa Mandarin dalam menanggapi pertanyaan terpisah dari media.
Singapura “tidak dapat mendukung atau memaafkan pelanggaran kedaulatan negara lain” dan harus “mengambil sikap”, tambahnya.
Lee juga mengatakan bahwa sanksi menandai “langkah besar” yang harus diambil untuk negara kecil seperti Singapura, dan rintangannya bahkan “lebih tinggi” bagi negara untuk menjatuhkan sanksi sendiri.
Perang di Ukraina, yang dimulai pada 24 Februari, "belum berakhir" dan kedua pihak yang berkonflik belum mencapai kesepakatan yang akan membawa perdamaian, kata Lee.
“Dan saya percaya bahwa perjuangan militer akan terus berlanjut,” tambahnya.
Apa arti krisis bagi negara kecil seperti Singapura adalah kebutuhan untuk membangun pertahanan negara itu sendiri dan diperlengkapi dengan baik.
Tapi yang paling penting, kata Perdana Menteri, adalah keinginan untuk memperjuangkan rumah sendiri.
(*)