Dalam karya ini Lutse menggunakan bahan temuan (found object) berupa helm tentara dan senjata bekas perang sebagai medium. Ia membangun ulang peristiwa dengan mengkonstruksi helm sebagai simbolisasi wilayah atas peristiwa yang berpindah-pindah.
Pada karya lainnya, ia membangun simbolisasi melalui tangan dan helm sebagai bentuk dan upaya untuk menggelorakan kembali semangat perjuangan atas kedaulatan yang dimiliki bangsa Indonesia.
Adapun koleksi orisinal berupa senjata, seragam, jam dinding beserta artefak tentara lainnya disajikan bersama dalam 1 ruang kaca untuk mendekatkan karya seni rupa secara langsung. Lutse ingin memberikan sentuhan masa kini dan masa depan dalam karya ini.
Baca Juga: Melalui Stasiun Radio AURI di Playen, Berita Serangan Umum 1 Maret 1946 Sampai ke Telingan PBB
Baca Juga: Serangan Umum 1 Maret Cara Indonesia Bongkar Kebohongan Belanda
Berbeda dengan Dedy Sufriadi. Dengan cara membangun dinding buku, ia merespons karakter pelajar atau Tentara Pelajar (TP). Mereka adalah kesatuan pelajar pejuang yang kemudian dalam TNI terintegrasi dalam Batalyon III Brigade XVII.
Besar peranan mereka dalam perjuangan, bahkan tidak sedikit yang gugur di usia muda demi menegakkan kedaulatan. Salah satu tetenger terkait adalah Monumen Rejodani di Yogyakarta, yang dibangun untuk memperingati peristiwa gugurnya 8 orang anggota TP dalam pertempuran 29 Mei 1949.
Secara simbolis Dedy berujar bahwa semasa perjuangan revolusi pelajar tidak memungkinkan hanya belajar di kelas tanpa peduli situasi. Peristiwa perang menyebabkan mereka harus turut membantu perang, bahkan harus turun ke lapangan meninggalkan bangku sekolah.
Buku ditutup sementara, disimpan dengan kuat dalam sanubari untuk dijadikan monumen ingatan, agar seusai perang pelajar dapat belajar kembali.
Dengan ungkapan yang monumental pula, Dedy menawarkan pada publik bahwa belajar adalah bagian dari perang terhadap kebodohan. Jangan sampai otak para pelajar membeku atau dibekukan oleh tujuan selain memuliakan kemanusiaan.
Perupa Rara Kuastra dan Putut yang tergabung dalam kolektif “Tempa” memilih karakter perempuan atau ibu-ibu dalam pameran ini. Sebagian perempuan berjuang di garis depan sebagai Laswi (laskar wanita Indonesia). Sebagian lainnya berjuang di garis belakang sebagai PMI dan di dapur umum. Bahkan ada yang berani bertindak sebagai kurir.
Bukan hanya surat yang dikirimnya, namun juga senjata untuk pejuang. Hasil karya mereka yang unik dan penting dirasakan yaitu dengan adanya NUK (nasi untuk kerja), semacam logistik bagi para pejuang.
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR