Intisari-Online.com -Sultan Agung Hanyokrokusumo merupakan sultan ke-3 yang memerintah Kesultanan Mataram.
Di bawah kempemimpinan Sultan Agung, Mataram berkembang cukup pesat dan menjadi kerajaan besar di Nusantara.
Dalam buku Sejarah Raja-Raja Jawa (2011) oleh Purwadi, Sultan Agung Hanyokrokusumo memiliki nama kecil Raden Mas Jatmiko yang berarti sopan dan rendah hati.
Beliau juga diberi nama Pangeran Rangsan yang artinya bergairah.
Sultan Agung merupakan anak pertama dari Prabu Hadi Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati putri dari Prabu Wijaya.
Sultan Agung lahir di Mataran (Yogayakarta tepatnya Kota Gede) pada 14 November 1593.
Sultan Agung merupakan penguasa yang berusaha mengembangkan agama Islam di pulau Jawa.
Latar belakang pendidikan yang diterima beliau adalah pengetahuan agama yang didapat dari beberapa wali.
Wali yang sangat berperan dan berpengaruh terhadap Sultan Agung adalah Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga dijadikan guru dan dianggap sebagai penasehat atau pembimbung Sultan Agung di bidang Agama.
Dari Sunan Kalijaga, beliau mendapatkan ajaran tentang agama.
Seperti raja-raja Mataram lainnya, Sultan Agung memiliki dua orang permaisuri, yaitu: Kanjeng Ratu Mas Tinumpuk, putri dari Suktan Cirebon.
Melahirkan keturunan Raden Mas Syahwawrat atau disebut Pangeran Alit.
Kanjeng Ratu Mas Tinumpuk mendapatkan gelar Kanjeng Ratu Kulon sebagai permaisuri yang dituakan dan memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan permaisuri yang lain.
Kanjeng Ratu Batang, putri Pangeran Upasanta dari Batang.
Melahirkan Raden Mas Sayidin alias Amangkurat I.
Baca Juga: Mengapa Kerajaan Sriwijaya Disebut sebagai Kerajaan Maritim?
Mendapatkan gelar Kanjeng Ratu Wetan sebagai permaisuri muda.
Salah satu perjuangan beliau yang membekas adalah perlawanannya terhadap VOC di Batavia.
Sultan Agung menyerangBatavia pada 1628 sebagai bagian dari rencana politik ekspansionisnya di Jawa.
Pasukan Jawa berkali-kali menyerang benteng dan berulang kali juga mereka gagal.
Dalam sebuah pertempuran besar di dekat benteng, pasukan Belanda berhasil mengalahkan pasukan Mataram.
Pasukan Mataram akhirnya dipukul mundur, karena kekalahan itu Sultan Agung mengirim algojo untuk memenggal kedua panglimanya.
M.C Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 menulis bahwaVOC menemukan 7 mayat prajurit Jawa yang tak dikuburkan, beberapa di antaranya tanpa kepala.
Pada 1629, Sultan Agung juga melakukan penyerangan kembali.
Selama masa penyerangannya, Sultan Agung dan pasukannya berhassil merebut Benteng Hollandia dari VOC.
Namun, karena perbekalan yang semakin menipis dan adanya bahaya kelaparan, pasukan Sultan Agung tidak berhasil mempertahankan benteng tersebut.
Meski tidak membawa keberhasilan untuk merebut Batavia secara keseluruhan, tekad dan semangat untuk mengusir VOC menjadi bukti Sultan Agung.
Bahkan sampai akhir hayatnya, Sultan Agung tetap tidak mau berdamai dengan VOC meskipun diberikan tawaran yang cukup menjanjikan.
Sultan Agung wafat di Mataram (persisnya di Bantul) pada 1645 dan dimakamkan di astana Kasultanan Agung.
Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.
Baca Juga: Alasan Aswawarman Disebut sebagai Wangsakarta dari Kerajaan Kutai
(*)