Hal ini mendapatkan sebuah respon tajam dari negara-negara yang menasihati untuk hubungan lebih keras dengan Min Aung Hlaing.
Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah menunjuk pentingnya ketua ASEAN "berkonsultasi dengan lainnya kapan pun mereka ingin melakukan sesuatu yang dianggap signifikan".
Akhirnya, Kamboja dipaksa menunda pertemuan para menteri luar negeri yang awalnya dijadwalkan pada 18-19 Januari karena beberapa pemerintahan mengatakan mereka tidak akan hadir, dengan alasan bentrokan jadwal.
Sumber diplomatik kemudian mengkonfirmasi jika penundaan ini adalah tindakan "cari aman", seperti beberapa kementerian mengindikasikan jika mereka tidak akan menghadiri sebagai bentuk boikot atas aksi Hun Sen.
Kemunduran Hun Sen berikutnya diperkuat dengan pengumuman Kementerian Luar Negeri Kamboja jika diplomat top junta, Wunna Maung Lwin, tidak akan diundang ke pembicaraan yang tertunda itu, yang kini akan diadakan dari 16 sampai 17 Februari.
Junta justru diminta mengirimkan "perwakilan non-politik" untuk pertemuan para menteri luar negeri itu.
Mundurnya aksi Kamboja terhadap Myanmar diterima dengan sukacita oleh pendukung Pemerintahan Nasional Bersatu (NUG) yang menantang legitimasi junta.
Namun beberapa pengamat ASEAN tetap tidak yakin jika sikap keras terhadap Myanmar akan bekerja.
Bilahari Kausikan, pensiunan diplomat senior Singapura, mengatakan sebuah kegagalan untuk melibatkan Dewan Administrasi Negara, julukan junta itu, akan menuntun kepada semakin terpinggirkannya ASEAN dalam proses deeskalasi.
Sejak sepakat dalam rencana Konsensus Lima Poin April 2021 lalu, Min Aung Hlaing telah membuat pengakuan pendek atas perjanjian itu, yang menetapkan atas hal lain, penghentian dari kekerasan dan pasukan khusus ASEAN harus diperbolehkan mengunjungi Myanmar dan memiliki semua akses ke "semua pihak".
KOMENTAR