Intisari-Online.com - Wacana pemindahan ibu kota Indonesia telah ada sejak lama, kemudian semakin hangat pada 2017 saat Jokowi menjabat sebagai Presiden.
Pada 2019, Kalimantan Timur resmi diumumkan sebagai lokasi ibu kota baru, dengan lokasi pilihannya yaitu sebagian di Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara.
Usai dua tahun terakhir pemerintah fokus dalam penanganan pandemi Covid-19, kini datang kabar terbaru mengenai pemindahan ibu kota tersebut.
Melansir Kompas.com (17/1/2021), Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengungkapkan, ibu kota baru di Kalimantan Timur akan diberi nama "Nusantara".
Hal tersebut diungkapkan Suharso dalam rapat Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) dengan pemerintah di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (17/1/2022). "Ini saya baru mendapatkan konfirmasi dan perintah langsung dari Bapak Presiden yaitu pada hari Jumat.
"Jadi sekarang hari Senin, hari Jumat lalu, dan beliau mengatakan ibu kota negara ini Nusantara," kata Suharso, Senin.
Suharso mengatakan, nama Nusantara dipilih karena kata tersebut sudah dikenal sejak lama dan ikonik di dunia internasional.
Menurut Suharso, nama tersebut dipilih dari 80 calon nama yang diajukan ke Presiden Jokowi.
Beberapa nama yang di usulkan di antaranya Negara Jaya, Nusantara Jaya, Nusa Karya, Pertiwipura, dan Cakrawalapura.
Ia mengatakan, pemerintah telah meminta pertimbangan dari ahli bahasa dan ahli sejarah untuk memilih nama yang paling tepat untuk ibu kota baru.
Mengenai nama ibu kota baru, sebelumnya draf RUU IKN belum mencantumkan nama ibu kota baru sehingga hanya disebut sebagai "IKN [...]" di dalam draf RUU tersebut.
Kini bakal menjadi nama ibu kota baru Indonesia, ada fakta menarik soal istilah Nusantara sendiri.
Mungkin tak banyak diketahui bahwa menurut sejarah lahirnya nama Nusantara, ternyata wilayah yang dimaksud tak mencakup sebagian Jawa.
Dikutip dari Perundang-undangan Madjapahit (1967), nama Nusantara lahir di masa Kerajaan Majapahit di sekitar abad ke-14.
Nusantara saat itu digunakan dalam konteks politik.
Secara politis, kawasan Nusantara terdiri dari gugusan atau rangkaian pulau yang terdapat di antara benua Asia dan Australia, bahkan termasuk Semenanjung Malaya.
Wilayah itu dikategorikan Majapahit sebagai Nusantara.
Nusantara tercatat diucapkan oleh Gajah Mada, patih Majapahit, lewat sumpah yang dikenal sebagai Sumpah Palapa.
Sumpah itu diucapkannya saat upacara pengangkatan menjadi Patih Amangkubumi Majapahit pada masa pemerintahan Ratu Tribhuwana Tunggadewi.
Sumpah Palapa berbunyi "Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, Samana isun amukti palapa."
Artinya, "Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikian saya (baru akan) melepaskan puasa."
Dalam sumpah tersebut, Nusantara digunakan Gajah Mada untuk menyebut daerah di luar Majapahit yang perlu ditaklukkan.
(*)
Sebagian Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur) justru waktu itu tak termasuk dalam istilah Nusantara yang dimaksud Gajah Mada.
Itu karena kerajaan-kerajaan di tanah Jawa sudah berada langsung di bawah pemerintahan Majapahit.
Saat itu, ada tujuh kerajaan di Pulau Jawa yang memberlakukan aturan Majapahit. Di antaramya Singasari, Daha, Kahuripan, Lasem, Matahun, Wengker, dan Pajang.
Nusantara terdiri dari kata nusa yang artinya pulau, yakni pulau-pulau, dan antara yang berarti lain atau seberang.
Setelah Majapahit bubar, istilah Nusantara sempat terlupakan. Kemudian kembali digunakan di abad ke-20.
Tokoh pendidikan nasional pendiri Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara, dikenal sebagai sosok yang mempopulerkannya kembali.
Nusantara digunakan sebagai alternatif dari Nederlandsch Oost-Indie atau Hindia Belanda.
Kemudian, Nusantara pun kerap digunakan sebagai padanan Indonesia hingga saat ini.