Intisari-online.com - Pulau Jawa mungkin rumah bagi beragam kelompok etnis agama, yang didominasi oleh orang Jawa dan Sunda.
Sebagian besar orang Jawa menduduki wilayah Jawa Timur dan Tengah, sisanya orang Sunda menduduki wilayah Jawa Barat.
Keduanya memiliki sistem penulisan, tradisi, budaya yang berbeda antara Sunda dan Jawa.
Konon katanya, perpecahan tersebut disebabkan oleh Perang Bubat antara Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda, pada masa Hayam Wuruk.
Kisahnyaberawal ketika Raja Majapahit, Hayam Wuruk, melamar seorang putri Sunda, Dyah Pitaloka Citaresmi, untuk menikah dengannya.
Ada dua rumor pertamayang mengatakan bahwa Hayam Wuruk jatuh cinta karena kecantikannya, kedua ada spekulasi bahwa lamaran pernikahan itu bersifat politis.
Pada saat itu, Kerajaan Majapahit berkembang secara agresif di bawah kepemimpinan patih Gajah Mada.
Dia bersumpah untuk tidak makan makan buah palapa sampai ia menyatukan seluruh Nusantara.
Beberapa tempat penting yang disebutkan dalam sumpah Gajah Mada adalah Pahang (Malaysia), Tumasik/Temasek (Singapura) dan terakhir, Sunda.
Keluarga kerajaan Sunda, bertekad untuk melindungi tanah mereka dari penaklukan Majapahit,namun lamaran pernikahan terlihat sebagai kesempatan untuk membina aliansi.
Demikianlah, Raja Sunda Lingga Buana memberikan restunya dan menemani putrinya untuk dinikahkan di ibu kota Majapahit, Trowulan.
Ketika raja Sunda dan rombongan kerajaannya tiba di Majapahit pada tahun 1357, mereka disambut oleh Gajah Mada.
Alih-alih menjalin aliansi, perdana menteri yang ambisius itu melihat peristiwa itu sebagai kesempatan untuk menuntut penyerahan Sunda ke Majapahit.
Dia juga bersikeras bahwa sang putri harus disajikan sebagai selir, bukan menjadi ratu Majapahit.
Keluarga kerajaan Sunda marah dan menolak tuntutan tersebut, hingga mendorong Gajah Mada untuk meluncurkan pasukan Majapahit dengan rombongan kecil.
Meskipun menunjukkan keberanian besar dalam melawan Majapahit, keluarga kerajaan Sunda yang kalah jumlah dengan cepat dimusnahkan.
Bahkan Raja Lingga Buana sendiri terbunuh dalam pertempuran.
Cerita mengatakan bahwa Putri Dyah Pitaloka kemudian melakukan bunuh diri ritualistik untuk mempertahankan kehormatan kerajaannya, daripada hidup melalui penaklukan dan perbudakan.
Pertempuran ini kemudian akan dikenal sebagai PerangBubat, dinamai dari alun-alun Bubat tempat pertempuran itu terjadi.
Kisah tersebut diturunkan dari generasi ke generasi, dan menciptakan ketegangan etnis antara Jawa dan Sunda dalam waktu yang lama.
Bahkan sampai muncul sebuah mitos bahwa pernikahan orang Sunda dan Jawa dilarang secara tradisi adat dan budaya.
Meski demikian, cerita tentang Perang Bubat sebenarnya memang benar adanya hal ini tersirat dari beberapa peninggalan Majapahit.
Namun, ada beberapa cerita yang tidak terungkap di mana dalang sebenarnya dari perpecahan Sunda-Jawa bukan karena PerangBubat.
Menurut Mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Herawan, dalam artikelnya di Kompas, "Kisah pertempuran itu terungkap, dalam kitab Pararaton (Kitab Raja-Raja, babad Jawa) ditulis 117 tahun setelah pertempuran."
"Jadi, bisa dipastikan kemungkinan cerita tersebut bias."
Herawan menyebut, bahwa perpecahan Jawa-Sunda, disebabkan propaganda kolonial Belanda, untuk mendorong perpecahan etnis supaya bisa mengontrol koloninya.