Intisari-Online.com - Beberapa waktu lalu terjadi kerusuhan besar-besaran diKazakhstan.
Hal itu pun membuatPresiden Kazakhstan Kassym-Jomart Tokayev angkat bicara.
Namun dia menggambarkan kekerasan mematikan pekan lalu sebagai upaya kudeta.
Dia mengatakan kepada para pemimpin aliansi militer negara-negara bekas Soviet bahwa tindakan tersebut telah dikoordinasikan oleh "pusat tunggal".
Tetapi dia tidak menyebutkan nama mereka yang bertanggung jawab.
Demonstrasi, yang dipicu oleh kenaikan harga bahan bakar, berubah menjadi kerusuhan terburuk yang pernah dialami negara itu dalam 30 tahun kemerdekaannya.
Puluhan orang dilaporkan tewas, termasuk 16 anggota pasukan keamanan.
Dilansir dari bbc.com pada Selasa (11/1/2022), protes dimulai pada 2 Januari 2022 terjadi karena ketidakpuasan pada pemerintah dan mantan Presiden Nursultan Nazarbayev, yang memimpin Kazakhstan selama tiga dekade.
Tapi para wartawan mengatakan kekerasan baru-baru ini mungkin terkait dengan perebutan kekuasaan di kalangan elit penguasa.
Seminggu setelah kekerasan meletus, pihak berwenang mengatakan situasinya sekarang telah stabil, dengan pasukan melanjutkan operasi "pembersihan" dan menjaga fasilitas strategis.
Walau begitu, keadaan darurat dan jam malam nasional tetap diberlakukan.
Akibat dari kekerasan itu, Kementerian Dalam Negeri mengatakan hampir 8.000 orang telah ditahan di seluruh negeri.
Pembicaraan keamanan antara para pemimpin aliansi militer Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif (CSTO) yang dipimpin Rusia terjadi ketika Kazakhstan memulai hari berkabung resmi untuk memperingati mereka yang tewas dalam kerusuhan tersebut.
"Militan bersenjata yang menunggu di sayap bergabung dengan protes."
"Tujuan utamanya jelas: merusak tatanan konstitusional, penghancuran institusi pemerintah dan perebutan kekuasaan. Itu adalah upaya kudeta," kata Tokayev.
Dia mengatakan pengunjuk rasa telah menargetkan kota terbesar Kazakhstan, Almaty, dengan maksud untuk merebut wilayah selatan negara itu dan ibu kota, Nur-Sultan.
Perburuan "teroris" terus berlanjut dan Kazakhstan akan segera memberikan bukti atas apa yang telah terjadi pada komunitas internasional, tambahnya.
Apa yang terjadi diKazakhstan langsung menarik perhatianPresiden Rusia Vladimir Putin.
Putin mengatakan Kazakhstan telah menjadi sasaran terorisme internasional, tetapi dia tidak memberikan bukti untuk klaim ini.
Yang jelas Putin menambahkan bahwa Rusia tidak akan pernah membiarkan revolusi di wilayah tersebut.
Pasukan dari Rusia dan negara-negara lain saat ini berada di Kazakhstan untuk memulihkan ketertiban.
Putin mengatakan dia yakin beberapa yang terlibat dalam kekerasan dalam beberapa hari terakhir telah dilatih di luar negeri.
"Kelompok militan yang terorganisir dengan baik dan dikelola dengan jelas digunakan, yang baru saja dibicarakan oleh Presiden Tokayev."
"Termasuk mereka yang jelas-jelas menjalani pelatihan di kamp-kamp teroris di luar negeri," kata Putin kepada para pemimpin lain dalam konferensi video.
"Peristiwa di Kazakhstan bukanlah upaya pertama atau terakhir untuk mencampuri urusan internal kami dari luar negeri.
"Langkah-langkah yang diambil oleh CSTO menunjukkan bahwa kami tidak akan membiarkan situasi yang tidak stabil di kawasan itu dan kami tidak akan membiarkan mereka melakukan apa yang disebut revolusi warna."
Pekan lalu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken mempertanyakan keputusan Kazakhstan untuk mencari bantuan militer Rusia.
Ini karena sekitar 2.030 tentara pimpinan Rusia tiba di negara itu.
Blinken mendesak pihak berwenang Kazakhstan untuk menghormati hak-hak pengunjuk rasa sambil menjaga hukum dan ketertiban.
Rusia telah lama menuduh Barat mendorong pemberontakan yang telah menjatuhkan pemerintah di negara-negara bekas Soviet seperti Ukraina, Georgia, Kirgistan, dan Armenia.
Apalagi peristiwa di Kazakhstan terjadi pada saat ketegangan tinggi atas puluhan ribu tentara Rusia berkumpul di perbatasan dengan Ukraina.