Intisari - Online.com -Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan maritim dengan kapal-kapal yang khas.
Salah satu keunggulan kapal itu ternyata ada bilik gundik di dalam kapal-kapal kerajaan Sriwijaya.
Walaupun fungsi bilik gundik masih perlu dipertanyakan apakah sesuai dengan nama yang diberikan, tapi prostitusi di masa kerajaan Jawa Kuno ternyata sudah ada.
Ternyata, urusan mengenai perbuatan mesum diatur dengan tegas seperti dalam undang-undang Agama tentang Paradara atau perbuatan mesum.
Bab Paradara berisi 17 pasal dan isinya secacara umum mengatur hubungan laki-laki dan perempuan, terutama larangan mengganggu perempuan bersuami.
Jika wanita mengiringkan seorang gadis dan mengantarkannya ke rumah seorang pemuda, atau jika ada wanita memberi tempat untuk pertemuan yang tidak senonoh antara seorang pemuda dan seorang gadis, karena mendapat upah dari pemuda dan gadis itu, kedua wanita baik yang mengantarkan gadis maupun yang menyediakan tempat itu dikenakan denda 4000 oleh raja yang berkuasa sebagai penghapus kesalahannya.
Pasal itu menyatakan aturan yang begitu ketat tapi ternyata keberadaan pekerja seks komersial tetap diakui oleh penguasa pada masa Jawa Kuno.
Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, menjelaskan jika kata jalir berarti pekerja seks dan juga kata kajaliran yang sering muncul dalam kitab susastra dan prasasti.
Kata jalir muncul dalam Kakawin Bharattayuddha, Kidung Sunda, Kitab Tantri Demung dan Nitisastra.
Ada juga kata lanji yang digunakan dalam Jawa Kuna dan Jawa Tengahan terkait pelacuran.
Lanji dijumpai dalam Kakawin Ramayana, Sarasamuccaya, Slokantara dan Tantri Kadiri.
Prostitusi juga disebut dalam berita Tiongkok, disebutkan dari kronik Dinasti Tang, Ch'iu-T'ang shu dan Hsin T'ang shu jika di Kerajaan Kalingga (Holing) banyak "perempuan berbisa".
Konon jika seseorang berhubungan kelamin dengannya dia akan luka-luka bernanah dan mati, tapi mayatnya tidak membusuk.
Juru jalir atau muncikari
Istilah selanjutnya adalah juru jalir yang disebut dalam sejumlah prasasti dari abad ke-9 M.
Contohnya adalah Prasasti Garaman yang dikeluarkan oleh Mapanji Garasakan dari Kerajaan Janggala pada 975 Saka (1053 M) dan pada sisi belakang Prasasti Waharu I tahun 795 Saka (873 M).
Baca Juga: Menguak Sumber Sejarah Kerajaan Sriwijaya, Apa Saja Prasasti Peninggalan Sriwijaya?
Juru jalir banyak diartikan sebagai muncikari, tapi Dwi memiliki pendapat lain.
Ia menyebut juru jalir adalah orang yang tugasnya memungut pajak dari para muncikari, sekaligus mengatur dan mengawasi pelacuran.
Bahkan juru jalir ini merupakan petugas resmi pemerintah, disebutkan oleh arkeolog Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa, jika dari data prasasti juru jalir masuk dalam kelompok petugas kerajaan yang disebut mangila drawya haji, atau artinya memungut milik raja.
Banyak dari mereka berkedudukan menjadi abdi dalem keraton, dan hidup mereka tergantung dari gaji yang diambil melalui bendahara kerajaan.
"Mangilala Drawya Haji adalah sekelompok pejabat rendahan yang sering dianggap sebagai pejabat-pejabat pemungut pajak," tulis Supratikno.
Kelompok itu muncul pada muncul pada abad ke-9 M sampai awal abad ke-14 M sezaman dengan periode Mataram Kuno sampai awal Majapahit.
Ketika kelompok ini disebut pertama kali dalam prasasti masa Mataram Kuno, jumlahnya tidak sampai sepuluh.
Jumlahnya bertambah dan mencapai jumlahnya tertinggi yaitu lebih dari 100 orang pada periode Tamwlang-Kahuripan.
Baca Juga: Inilah Yupa, Sumber dan Bukti Sejarah Kerajaan Kutai, Apa Isinya?
Namun kemudian jumlahnya menyusut dan mencapai titik terendah pada masa Majapahit.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini