Intisari-Online.com - Selain pandemi virus corona, rupanya telah terjadiperang saudara diEthiopiaselama dua tahun terakhir ini.
Akibat dariperang saudara diEthiopia itu,anak-anak di sana kelaparan.
Salah satu korbannya adalah seorang bayiberusia tiga bulan yang bernamaSurafeal Mearig.
Dilansir daribbc.com pada Jumat (7/1/2022), Surafeal Mearig terbaring tak berdaya di rumah sakit terbesar di wilayah Tigray yang dilanda perang di Ethiopia.
Matanya terbuka lebar dan tulang rusuknya menekan kulitnya yang tipis berkerut.
Dia termasuk di antara banyak anak yang menderita kekurangan gizi karena perang saudara selama 14 bulan yang juga telah menyebar ke wilayah tetangga Afar dan Amhara.
Dokter anak Surafeal di Rumah Sakit Rujukan Ayder di ibu kota Tigray, Mekelle, mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa beratnya 2,3 kg, satu kilogram lebih ringan daripada saat lahir.
Menurut catatan medis yang diterbitkan oleh staf rumah sakit, susu ibunya telah mengering dan orangtuanya, sekarang keduanya menganggur, tidak mampu membeli susu formula.
Masalah semakin rumit ketikastaf di rumah sakit mengatakan mereka kehabisan makanan terapeutik untuk merawat anak-anak seperti Surafeal.
"Sekarang sudah enam bulan sejak pasokan apa pun datang ke sini dari Addis Ababa (ibu kota federal)," kata seorang dokter di rumah sakit itu.
"Kami hampir menyelesaikan apa yang kami miliki sejak pasokan terakhir kami tiba pada Juni."
"Semuanya kini hampir habis," tambahnya.
Minggu ini petugas medis di Rumah Sakit Ayder menyampaikan laporan kepada lembaga bantuan internasional untuk meminta bantuan.
Surafealhanyalah salah satu anak.
Para petugas medis mengatakan lebih dari 40% anak-anak berusia di bawah lima tahun yang datang ke rumah sakit ini mengalami kekurangan gizi.
Angka ini dua kali lipat lebih tinggi daripada tahun 2019.
Medhaniye yang berusia empat tahun misalnya.
Dengan tulang kurus juga terbaring di ranjang rumah sakit, dia harus menerima selang makanan terhubung melalui hidungnya.
Laporan medisnya mengatakan dia mulai menderita kekurangan gizi setelah tentara menyerang rumah keluarganya menyembelih sapi mereka, menghancurkan dan menjarah harta benda.
BBC tidak dapat memverifikasi secara independen perincian dalam laporan dokter.
Ini karena sebagian besar Tigray telah mengalami pemadaman komunikasi sejak November 2020 ketika konflik pecah antara Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF), yang mengendalikan sebagian besar wilayah dengan pemerintah federal.
Wartawan juga belum bisa mengunjungi Tigray sejak Juli 2020.
Selain kekurangan makanan, para dokter juga mengaku kekurangan obat.
Ini semua karena pemerintahfederal dan sekutu mem-"blokade" obat-obatan dan peralatan selama enam bulan.
Akibatnya angka kematian menjadi tinggi.
"Sejak wilayah itu dikepung, 35 pasien lainnya telah kehilangan nyawa mereka karena tidak adanya obat dan alat," kata laporan itu.
Dokter mengatakan mereka telah dipaksa untuk menghentikan pendarahan dengan tangan kosong, mencuci dan menggunakan kembali sarung tangan atau membuat cairan disinfektan sendiri.
Peliknya kondisi di sana membuatbadan-badan bantuan mengeluhkarena tidak bisa mengirim bantuanke Tigraysejak perang dimulai.
Menurut laporan terakhir Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (Ocha) pada 30 Desember, konvoi bantuan belum mencapai Tigray sejak pertengahan Desember.
Itu semua karena penundaan birokrasi dan ketidakamanan.
Padahal program Pangan Dunia memperkirakan bahwa 100 truk yang membawa bantuan perlu mencapai Tigray setiap minggu untuk memenuhi kebutuhan lebih dari lima juta orang.
Tetapi menurut hanya 12% dari pasokan yang dibutuhkan yang berhasil masuk ke wilayah tersebut.