Intisari-Online.com -Kesusastraan Majapahit merupakan kelanjutan dari tradisi kesarjanaan Kawi Jawa Hindu-Buddha yang menghasilkan syair kakawin yang telah berkembang sejak abad ke-9.
Kerajaan Majapahit mempunyai peninggalan berupa karya sastra yang jumlahnya tidak kalah banyak dari Kerajaan Kediri.
Pada masa Majapahit, kakawin yang terkenal adalah Negarakertagama karya Mpu Prapanca serta Arjunawijaya dan Sutasoma karya Mpu Tantular.
Kedua pujangga Majapahit yang termashyur itu hidup pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk.
Selain itu, terdapat Kitab Pararaton yang menjadi salah satu sumber sejarah Kerajaan Majapahit yang terkenal.
Akan tetapi, karya sastra ini disebut sebagai kitab anonim legendaris, karena sampai saat ini tidak diketahui pengarangnya.
Negarakertagama karya Mpu Prapanca
Keagungan Kerajaan Majapahit digambarkan dalam Kitab Negarakertagama pada pupuh 8.
Menurut isi pupuh tersebut, Mpu Prapanca menggambarkan bahwa kompleks Kerajaan Majapahit dikelilingi tembok bata merah yang tebal dan tinggi.
Di dekatnya terdapat pos penjaga yang dibentengi dan dinamakan Pura Waktra.
Gerbang utama istana terletak di dinding utara, di mana terdapat pintu besar dari besi yang diukir.
Di luar gerbang utara terdapat bangunan panjang tempat para bangsawan bertemu.
Tepat di dalam gerbang utara adalah halaman yang berisi bangunan keagamaan.
Di sisi barat halaman ini terdapat paviliun yang dikelilingi kanal tempat orang mandi.
Di ujung selatan sebuah gerbang terdapat deretan rumah yang menjadi tempat tinggal para pelayan istana.
Sementara itu, tempat tinggal raja terletak di sebelah timur halaman itu, memiliki paviliun dengan dekorasi dasar bata merah, pilar kayu berukir indah, dan atap yang dihiasi ornamen tanah liat.
Di luar istana terdapat tempat tinggal untuk pendeta Siwa, Budha, dan anggota bangsawan lainnya.
Sutasoma karya Mpu Tantular
Kitab Sutasoma merupakan peninggalan sejarah dalam bentuk karya sastra dikarang oleh Mpu Tantular pada abad ke-14.
Kitab Sutasoma berisi kisah upaya Sutasoma sebagai titisan Sang Hyang Buddha untuk menegakkan dharma.
Sutasoma adalah putra Prabu Mahaketu dari Kerajaan Astina yang lebih menyukai memperdalam ajaran Buddha Mahayana daripada harus menggantikan ayahnya menjadi raja.
Maka pada suatu malam, Sutasoma pergi ke hutan untuk melakukan semedi di sebuah candi dan mendapat anugerah.
Sutasoma kemudian pergi ke pegunungan Himalaya bersama beberapa pendeta.
Sesampainya di sebuah pertapaan, sang pangeran mendengarkan riwayat cerita tentang raja, reinkarnasi seorang raksasa, bernama Prabu Purusada yang senang memakan daging manusia.
Para pendeta dan Batari Pretiwi membujuk Sutasoma agar membunuh Prabu Purusada.
Namun, Sutasoma menolak karena ingin melanjutkan perjalanan.
Di perjalanan, sang pangeran bertemu dengan raksasa berkepala gajah pemakan manusia dan ular naga.
Si raksasa dan ular naga yang tadinya ingin memangsa Sutasoma berhasil ditaklukkan.
Setelah mendengar khotbah dari Sutasoma tentang agama Buddha, keduanya bersedia menjadi muridnya.
Sang pangeran juga bertemu dengan harimau betina yang akan memakan anaknya sendiri.
Sutasoma sempat mati karena bersedia menjadi mangsa harimau itu.
Lalu datanglah Batara Indra dan Sutasoma dihidupkan kembali.
Tersebutlah sepupu Sutasoma bernama Prabu Dasabahu, berperang dengan anak buah Prabu Kalmasapada (Purusada).
Anak buah Prabu Kalmasapada kalah dan meminta perlindungan Sutasoma.
Prabu Dasabahu yang terus mengejar akhirnya tahu bahwa Sutasoma adalah sepupunya, lalu di ajak ke negerinya dan dijadikan ipar.
Setelah kembali ke Astina, Sutasoma dinobatkan sebagai raja bergelar Prabu Sutasoma.
Cerita dilanjutkan dengan kisah Prabu Purusada dalam membayar kaul kepada Batara Kala supaya bisa sembuh dari penyakitnya.
Purusada telah mengumpulkan 100 raja, tetapi Batara Kala tidak mau memakan mereka.
Prabu Sutasoma bersedia menjadi santapan Batara Kala sebagai ganti atas 100 raja sitaan Purusada.
Mendengar permintaan raja Astina, Purusada menjadi sadar akan perbuatannya dan berjanji tidak akan memakan daging manusia lagi.
(*)