Intisari-online.com -Pulau Jawa modern di Indonesia sekarang memiliki komunitas etnis dan agama yang beragam.
Tetapi pulau itu pernah dibagi oleh Pertempuran Bubat yang pahit, ketika pernikahan kerajaan berubah menjadi pertumpahan darah.
Pulau ini secara tradisional didominasi oleh dua kelompok etnis terbesar di negara ini, Jawa dan Sunda.
Masing-masing mewakili 41 dan 15,5 persen dari total penduduk Indonesia.
Banyak orang Jawa bermukim di Jawa bagian tengah dan timur.
Sedangkan Jawa bagian barat dikenal sebagai Tanah Sunda (tanah Sunda) yang didominasi orang Sunda.
Meskipun mereka berbagi pulau yang sama, orang Sunda memiliki bahasa, sistem penulisan tradisional, dan budaya yang berbeda dari orang Jawa.
Sementara Jawa Tengah dan Jawa Timur dikuasai oleh Kerjaaan Majapahit.
Kerajaan Majapahit, yang ada di Asia Tenggara dari 1293 sampai sekitar 1517, adalah kerajaan Jawa Hindu-Budha terbesar di tanah Jawa.
Selama era Raja Hayam Wuruk yang memerintah 1350-1389, kerajaan mencapai puncak menonjol, karena pemerintahannya ditandai dengan penaklukan yang tersebar di Asia Tenggara.
Prestasi Hayam Wuruk juga tak lepas dari prestasi perdana menterinya, Gajah Mada.
Menurut KitabPararaton ( Kitab Raja-raja ) mencatat bahwa selama upacara pelantikannya sebagai perdana menteri Majapahit di 1334.
Gajah Mada terkenal bersumpah untuk tidak mengkonsumsi buah palapasebelum menaklukkan seluruh nusantara.
Dia mengucapkn sumpah, "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa"
"Jika saya belum berhasilmenaklukkan Nusantara, maka saya tidak akanmakan buah palapa. Jika Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, semuanya dikalahkan, saya baru makan buah palapa.
Namun, pada tahun 1357, Raja Hayam Wuruk melamar Dyah Pitaloka Citaresmi, seorang putri Sunda.
Ayahnya Raja Sunda Lingga Buana memberikan restunya dan, ditemani oleh ratu dan menteri, ia melakukan perjalanan dengan putrinya ke Trowulan, ibu kota Majapahit, untuk pernikahannya dengan raja Majapahit.
Pada tahun 1357 raja Sunda dan keluarga kerajaan tiba di Majapahit setelah berlayar melintasi Laut Jawa kemudian berkemah di alun-alun Bubat di bagian utara Trowulan, ibu kota Majapahit, dan menunggu upacara pernikahan.
Namun Gajah Mada, Patih Majapahit melihat peristiwa ini sebagai kesempatan untuk menuntut penyerahan Sunda untuk atasan Majapahit.
Dyah Pitaloka harus dijadikan tanda penyerahan dan diperlakukan sebagai selir oleh raja Majapahit.
Raja Sunda marah dan terhina oleh permintaan Gajah Mada.
Akibatnya, pertempuran kecil yang dikenal sebagai Pertempuran Bubat terjadi di alun-alun Bubat antara tentara Majapahit dan keluarga kerajaan Sunda untuk mempertahankan kehormatan mereka.
Meskipun perlawanan berani, keluarga kerajaan Sunda kewalahan dan dihancurkan oleh tentara Majapahit dengan hampir semua pihak kerajaan Sunda dibantai dalam tragedi itu.
Hal ini membuat Dyah Pitaloka sakit hatimengambil nyawanya sendiri untuk membela kehormatan dan kebanggaan negaranya.
Menurut tradisi, kematian Dyah Pitaloka ditangisi oleh Hayam Wuruk dan seluruh penduduk kerajaan Sunda yang telah kehilangan sebagian besar anggota keluarga kerajaannya.
Perbuatan dan keberanian ayahnya dipuja sebagai tindakan mulia kehormatan, keberanian dan martabat dalam tradisi Sunda.
Ayahnya, Prabu Maharaja Lingga Buana dipuja oleh orang Sunda sebagai Prabu Wangi karena tindakan heroiknya untuk mempertahankan kehormatannya melawan Majapahit.
Keturunannya, yang kemudian menjadi raja Sunda, disebut Siliwangi.
Tragedi ini sangat merusak hubungan antara kedua kerajaan dan mengakibatkan permusuhan selama bertahun-tahun dan situasi tidak pernah kembali normal.
Gajah Mada menghadapi tentangan, ketidakpercayaan, dan ejekan di istana Majapahit karena tindakan cerobohnya yang tidak sesuai sikap bangsawan Majapahit, hal ini melemahkan pengaruh raja Hayam Wuruk.