Advertorial
Intisari-Online.com - Ini adalah kapal khas Suku Bugis yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.
Kabupaten Bulukumba, Makassar, Sulawesi Selatan, merupakan daerah yang dikenal sebagai produsen kapal ini.
Kapal atau perahu Phinisi rupanya punya berbagai fakta-fakta unik. Salah satunya soal ritual khusus yang dijalankan sebelum pembuatannya.
Meski kini telah berkembang dengan penambahan unsur modern, tetapi pembuatannya tak meninggalkan tradisi tersebut.
Berikut ini 5 fakta unik kapal Phinisi:
1. Putra Mahkota Sawerigading disebut Sosok Pertama yang Membuatnya
Menurut naskah lontarak I Babad La Lagaligo, perahu Phinisi sudah ada sekitar abad ke-14, di mana pembuatnya adalah putra mahkota Kerajaan Luwu, Sawerigading.
Putra Mahkota Sawerigading membuat perahu tersebut untuk berlayar menuju negeri China.
Perjalanannya itu bertujuan untuk meminang putri China bernama Putri We Cudai.
Dikisahkan, setelah beberapa lama tinggal di China, Sang Putra Mahkota rindu dengan kampung halaman. Maka, dengan menggunakan perahu yang dulu ia buat, Sawerigading berlayar ke Luwu.
Tetapi, ketika perahu memasuki Pantai Luwu, tiba-tiba gelombang besar menghantam perahunya hingga pecah.
Pecahan-pecahan perahunya terdampar ketiga tempat wilayah Kabupaten Bulukumba, yakni Kelurahan Ara, Tana Beru, dan Lemo-Lemo.
Oleh masyarakat setempat, bagian-bagian perahu tersebut kemudian dirakit kembali menjadi sebuah perahu yang megah. Setelah jadi, perahu itu pun dinamakan Perahu Phinisi.
2. Bahan pembuatnya
Dikutip situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), bahan yang dipakai untuk membuat perahu Phinisi diambil dari pohon welengreng (pohon dewata).
Pohon tersebut dikenal sebagai pohon yang kokoh dan tidak mudah rapuh.
Selain itu, kapal ini juga dibuat dengan beberapa jenis kayu seperti kayu besi, ulin, pude, jati, dan bayam.
Mengutip Kompas.com, menurut pemandu Muesum La Galigo, museum yang menyimpan sejarah kebudayaan Makassar, setiap jenis kayu berbeda fungsinya.
Misalnya kayu besi, ulin, dan pude biasanya digunakan untuk membuat lunas (kalibiseang) atau bagian perahu yang bersentuhan dengan air laut.
Sementara kayu jati dan bayam digunakan untuk membuat kamar dan peralatan lainnya yang tidak langsung dengan air laut.
Baca Juga: Hari HAM: Arti dari 'Personal Rights' dalam Penggolongan Hak Asasi Manusia
3. Ritual khusus sebelum pembuatan kapal Phinisi
Beberapa ritual dilakukan sebelum pembuatan kapal ini, termasuk perhitungan hari terbaik untuk kapan sebaiknya kapal dibuat.
Pada tahap pertama ritual, pohon-pohon yang akan ditebang sebagai bahan pembuatan kapal harus diusir terlebih dahulu roh-roh jahatnya.
Kayu-kayu yang dipakai umumnya didatangkan dari daerah lain, seperti Sulawesi pedalaman atau Kalimantan.
Kemudian, dilanjutkan dengan tahap peletakan 'lunas',balok memanjang di dasar kapal yang berfungsi sebagai pondasi berdirinya konstruksi kapal.
Lunas akan dihadapkan ke arah timur laut. Bagian depan lunas dianggap sebagai lambang laki-laki dan bagian belakangnya dianggap sebagai lambang perempuan.
Nantinya, bagian depan lunas akan dipotong dan dilarung ke laut untuk tujuan menolak bala.
Ritual tersebut juga melambangkan kesiapan laki-laki dalam mencari nafkah di lautan. Sementara, lunas bagian belakang akan dipotong dan disimpan di rumah.
Baca Juga: Sesuai Nila-nilai Pancasila, Inilah 7 Contoh Pengamalan Sila ke-3
4. Warisan dunia
Pada 2017, UNESCO menetapkan kapal Pinisi sebagai warisan budaya takbenda dunia.
Ini karena sejarahnya yang panjang serta tradisi dan makna yang terkandung.
Kapal ini memiliki beberapa layar dengan makna mendalam.
Dua layar utama dalam kapal Phinisi didasarkan pada dua kalimat syahadat.
Sedangkan tujuh layar menggambarkan jumlah ayat dalam surat Al-fatihah, pembuka kitab suci Alquran.
Baca Juga: Inilah Contoh Pengamalan Pancasila dalam Kehidupan Sehari hari
5. Tak termakan zaman
Jika dulu kapal Pinisi diandalkan para pelaut, kini kapal Pinisi juga biasa dimanfaatkan untuk pariwisata.
Kapal Phinisi kini juga dibuat dengan interior mewah yang dilengkapi peralatan menyelam, permainan air untuk wisata bahari, serta awak yang terlatih dan diperkuat dengan teknik modern.
Beberapa operator wisata menawarkan perjalanan mengggunakan kapal Pinisi dengan jalur pelayaran hingga ke Kepulauan Seribu di Jakarta.
Baca Juga: Sesuai Nila-nilai Pancasila, Inilah 7 Contoh Pengamalan Sila ke-3
(*)