Intisari-Online.com -Sejak militer Myanmar melakukan kudeta dan menahan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi pada 1 Februari, Myanmar berada dalam kekacauan.
Menurut kelompok pemantau lokal, lebih dari 1.300 orang tewas di tangan pasukan junta militer sejak kudeta.
AS dan sejumlah negara Barat telah menjatuhkan serangkaian sanksi pada para pemimpin junta militer sejak kudeta.
Pada Juni, Majelis Umum PBB sepakat untuk mencegah pengiriman senjata ke Myanmar.
Namun, tindakan tersebut dianggap hanya simbolis karena tidak diambil oleh Dewan Keamanan PBB yang memiliki posisi kuat.
China dan Rusia, yang memegang hak veto di Dewan Keamanan PBB, serta India adalah pemasok senjata utama ke Myanmar.
Baru-baru ini, milisi anti-junta militer mengaku menemukan lebih dari 30 jenazah yang hangus terbakar.
Di antara jenazah itu ada perempuan dan anak-anak.
Jenazah-jenazah itu ditemukan beserta mobil dan beberapa truk yang terbakar di Negara Bagian Kayah, di mana pemberontak pro-demokrasi memerangi militer.
Save the Children pada Selasa mengonfirmasi kematian dua pekerjanya yang terperangkap dalam tragedi tersebut.
Setelah pembantaian dan pembakaran lebih dari 30 orang pada malam Natal tersebut, AS kembali menyerukan embargo senjata terhadap junta militer Myanmar setelah.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken pada Selasa (28/12/2021) mengatakan, pembunuhan terhadap warga sipil tak berdosa tidak dapat diterima.
“Dan kekejaman militer yang meluas terhadap rakyat Burma menggarisbawahi urgensi meminta pertanggungjawaban mereka,” kata Blinken menggunakan nama lama Myanmar.
Dia juga meminta masyarakat internasional untuk berbuat lebih banyak meminta pertanggungjawaban junta militer untuk mencegah terulangnya kembali kekecakam di sana.
“Termasuk dengan mengakhiri penjualan senjata dan dual-use teknologi kepada militer,” imbuh Blinken sebagaimana dilansir AFP.