Intisari-Online.com - Ketegangan antara Rusia dan Ukraina masih terus berlangsung setelah Rusia mengirimkan puluhan ribu pasukannya ke perbatasan Ukraina.
Hal ini memicu kekhawatiran di antara AS dan sekutu baratnya bahwa Rusia akan melakukan invasi besar-besaran ke Ukraina.
AS dan sekutunya telah memperingatkan Rusia tentang konsekuensi dari permusuhan lebih lanjut di tengah penumpukan militer yang terus berlanjut di dekat perbatasan Ukraina.
Langkah itu dinilai intelijen AS sebagai persiapan untuk invasi skala penuh Rusia ke Ukraina pada awal 2022.
Namun,tanpa Rusia melancarkan invasinya pun, ada pasukan'ilegal' Rusia yang menyerang tentara Ukraina.
Baru-baru ini, seorang tentara Ukraina tewas oleh tembakan mortir.
Tembakan mortir itu dari separatis pro-Rusia di daerah garis depan, di tengah meningkatnya ketegangan Rusia-Ukraina.
Menurut Kementerian Pertahanan Ukraina, sebuah benteng yang dikendalikan oleh tentara Ukraina pada 17 Desember diserang dengan senapan mesin, mortir dan peluncur granat, melansir 24h.com.vn (18/12/2021).
Serangan itu menewaskan satu tentara dan melukai yang lain.
Korban terbaru menjadikan jumlah korban total pasukan Ukraina sejak awal tahun ini menjadi 65, meningkat signifikan dari 50 pada 2020.
Pertempuran sengit kembali terjadi di Ukraina timur di tengahpengerahan lebih dari 175.000 tentara Rusia di dekat perbatasan Ukraina.
Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan bahwa Moskow dengan tegas menentang penggunaan kekuatan Ukraina untuk menyelesaikan perselisihan domestik.
Rusia juga membuka kemungkinan intervensi militer untuk melindungi kekuatan penduduk berbahasa Rusia di Ukraina timur.
Pada 17 Desember, Rusia membuat serangkaian proposal ke AS dan sekutu NATO-nya.
Kremlin ingin Barat menjamin bahwa Ukraina tidak akan pernah diizinkan untuk bergabung dengan NATO.
Barat juga tidak diperbolehkan mengirim lebih banyak pasukan ke negara-negara Eropa Timur yang dekat dengan perbatasan Rusia.
Rusia meminta NATO untuk menghentikan semua operasi militer di Eropa Timur, menghentikan latihan militer.
Rusia menginginkan komitmen NATO untuk tidak mengirim rudal taktis jarak menengah untuk mengancam wilayah Rusia, dan bahwa para pihak tidak akan melakukan apa yang dianggap pihak lain sebagai "ancaman".
Rusia juga ingin NATO menyetujui pertukaran informasi dan menghindari penggunaan kekuatan.
Menurut media Rusia, AS dan NATO sejauh ini menolak proposal di atas, kata Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov.
Berbicara kepada wartawan, Ryabkov mengatakan Rusia siap untuk melakukan negosiasi mendesak dengan AS, paling cepat "besok".
"Kami siap, bahkan besok, Sabtu, untuk bernegosiasi dengan AS di negara ketiga," kata Ryabkov. "Rusia telah menyarankan agar negosiasi dapat dilakukan di Jenewa, Swiss."