Intisari - Online.com -Pengumuman Washington minggu lalu yang berupa penerapan embargo senjata kepada Kamboja adalah respon terbaru dari kondisi yang terus-menerus memburuk dari hubungan bilateral Amerika Serikat (AS) dan China.
Sebelumnya, embargo senjata adalah larangan ekspor-impor senjata dari dan ke Kamboja.
Washington menjatuhkan keputusan ini setelah mencurigai aktivitas mencurigakan meningkatnya hubungan Kamboja dengan China.
Dilansir dari Asia Times, dari sudut pandang Washington, pemerintahan Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, yang makin otoriter, tidak hanya mencekik hak politik dan HAM tapi juga menjadi boneka Beijing.
AS yakin Phnom Penh telah secara rahasia setuju pasukan-pasukan China bisa menggunakan Kamboja sebagai pangkalan militer.
Namun dari sudut pandang Phnom Penh, AS telah secara tidak adil menghukum Kamboja dan menyebarkan informasi salah mengenai perjanjian yang seharusnya rahasia untuk memperbolehkan pasukan China turun di tanah Kamboja, yang jika benar akan menodai piagam negara tersebut.
Kamboja juga melihat kemunafikan dalam kritik AS dan sanksi mereka melihat cara AS yang ramah terhadap Vietnam, negara yang lebih sering melanggar HAM tapi punya hubungan lebih serius dengan China.
AS menghapus embargo senjata atas Vietnam tahun 2016 dengan alasan geopolitik yang jelas, sementara Washington sejauh ini tidak menawarkan bukti demonstratif apapun atas kesepakatan militer rahasia Kamboja-China.
Kesepakatan ini memberikan China akses kepada Pangkalan Angkatan Laut Ream sampai ke Teluk Thailand.
Akses China ke pangkalan tersebut akan bisa mengubah keseimbangan kekuatan di Laut China Selatan, di mana AS dan China sedang sangat tegang, mengingat Kamboja akan menjadi sayap selatan baru bagi China dalam teater maritim Laut China Selatan.
Jika tidak ada kesepakatan, Phnom Penh telah berniat menyemangati paranoid AS mengenai isu tersebut, sementara mereka sendiri juga tahu mengubah demokrasi negara menuju negara satu partai akan membuat Washington ngamuk.
Namun rusaknya hubungan yang sudah terjadi sejak 2017 itu sejauh ini masih berupa retorika dan gestur semata.
Secara relatif, pejabat-pejabat biasa di Kamboja dengan sedikit aset untuk dilindungi di AS telah disanksi.
Beberapa bantuan telah diputus tapi China telah dengan cepat mengisi kekosongan tersebut.
Namun, hal ini masih diusahakan AS untuk berubah.
Bulan lalu AS mengatakan jika mereka berencana membuka posisi Kamboja dalam skema perdagangan yang diliputi hak istimewa, yang bisa secara signifikan membantu ekspor Kamboja dan membuat ekonomi pasca Covid-19 Kamboja pulih.
Gayung bersambut terbaru dimulai pada 7 Desember ketika negara-negara bagian dan departemen perdagangan AS mengumumkan sebuah embargo senjata yang akan membatasi akses untuk "bantuan pertahanan" oleh militer Kamboja dan agen intelijen.
"Itu karena hubungan militer Kamboja-China dan AS memutuskan Kamboja telah nakal, jadi bongkahan batu bara untuk Natal!" ujar Sophal Ear, dekan dan profesor di Thunderbird School of Global Management di Arizona State University.
Hun Sen, yang menjabat sejak 1985, bereaksi seperti biasa dengan marah atas sikap AS.
"Ini menunjukkan kebijaksanaan keputusan yang saya buat di tahun 1994 ketika saya dipilih tidak mengubah sistem senjata berdasarkan model AS," ujarnya pada 10 Desember lalu menurut terjemahan media lokal.
"Saya juga mengisukan perintah kepada semua unit pasukan bersenjata untuk segera cepat menilai senjata dan peralatan militer yang saat ini dimiliki Kamboja dan menarik semua buatan AS untuk disimpan atau dihancurkan," tambahnya.
Ou Virak, presiden dari lembaga penelitian di Phnom-Penh, Future Forum, menjelaskan embargo senjata ini merupakan "gerakan simbolik".
Memang benar, karena Kamboja belum membeli atau memiliki amunisi maupun peralatan militer dari AS dalam berpuluh-puluh tahun lamanya.
Menurut data dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), Kamboja terakhir kali mendapatkan senjata dari AS sejak 1973.
Pada sejarah yang lebih baru, Kamboja telah bergantung pada sumber peralatan militer lain, terutama dari negara-negara Eropa Timur dan China.
Menurut pangkalan data SIPRI, China telah membuat lima pengiriman terpisah untuk amunisi dan peralatan militer ke Kamboja sejak pergantian abad.
Pengiriman terbesar adalah 12 Helikopter Panther AS365/AS565 tahun 2013, yang dibayarkan Kamboja melalui pinjaman sebesar USD 195 juta dari Beijing.
Sementara itu, hubungan antara AS dan Kamboja membeku sejak akhir perang sipil Kamboja tahun 1990-an, dan memburuk lebih jauh di sepanjang tahun 2010-an saat Phnom Penh mendekat ke China.
Pergerakan itu memenangkan hibah-hibah kaya dan bantuan yang memperbolehkan Phnom Penh mengurangi ketergantungannya dari bantuan AS.
Pada awal tahun 2017, pemerintahan Kamboja mengumumkan penundaan latihan militer gabungan rutin dengan AS dan malah memulai latihan dengan pasukan China.
Hubungan semakin memburuk setelah penggabungan paksaan partai oposisi Kamboja pada akhir 2017 yang semakin mendorong langkah Partai Rakyat Kamboja (CPP) yang menguasai pemerintahan untuk memenangkan semua kursi parlemen pada pemilu 2018.
AS masih mengupayakan menjangkau Kamboja dengan mengirimkan dubes baru, W Patrick Murphy, ke Phnom Penh pada pertengahan 2019, tapi upaya diplomatik tersebut tampaknya gagal.
Kini, AS menuduh Kamboja merencanakan memperbolehkan pasukan China ditempatkan di tanah mereka, klaim yang terus-terusan disangkal pemerintah Kamboja tapi bisa mengubah lanskap dinamika keamanan Indo-Pasifik secara signifikan.
Wall Street Journal mengutip sumber AS, melaporkan pada Juli 2019 lalu mengenai kesepakatan rahasia yang memperbolehkan China menggunakan Pangkalan Angkatan Laut Ream selama 30 tahun ke depan.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini