Intisari-Online.com – Pada Sabtu (4/12/2021), Gunung Semeru yang terletak di Jawa Timur meletus, memuntahkan ‘isi perutnya’.
Akibatnya, 15 orang meninggal, 27 orang hilang, dan 1.707 warga mengungsi, dan rumah-rumah di sekitar Gunung Semeru pun rata dengan tanah.
Menurut Prof. Nana Sulaksana, Guru Besar Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran, letusan yang terjadi pada Sabtu sore pekan lalu tidak mungkin terjadi secara tiba-tiba.
“Jadi letusan kemarin bukan tiba-tiba, tapi memang sudah terjadi letusan kegiatan magmatisme jauh sebelumnya. Hanya kemarin saat letusan besar, secara kebetulan bersamaan dengan curah hujan tinggi,” ungkap Nana dalam rilis yang diterima kompas.com, Senin (6/12/2021).
Erupsi Gunung Semeru diakibatkan adanya gua gaya yang bekerja, yaitu endogen dan eksogen, demikian menurut Nana.
Gaya endogen terjadi ketika aktivitas magma yang mendorong material vulkanik naik ke permukaan.
Sementara, gaya eksogen diakibatkan oleh hujan yang ekstrem.
Akumulasi material dari Gunung Semeru kemudian dialirkan oleh air, dan hanyut ke bawah melalui lembah dan sungai-sungai.
Akibat yang terjadi adalah banjir lahar yang kemudian menyapu kawasan di lembahan Semeru.
“Kalau tidak ada hujan, maka seluruh material yang keluar sifatnya belum langsung menjadi lahar. Namun, karena ini musim hujan, dan kebetulan hujan besar, maka material yang teronggok di atas terkena air dan hanyut ke sungai,” papar Nana.
Letusan Gunung Semeru ini memiliki karakter sendiri, jelas Nana.
Hal tersebut dikarenakan setiap kompleks gunung berapi di Indonesia memiliki dapur magmanya tersendiri.
Dari tipe letusannya, berdasarkan hasil penelitian dan historis, secara spesifik Gunung Semeru memiliki erupsi yang besar.
Setelah terjadi erupsi besar, Gunung tertinggi di Pulau Jawa itu pun kemudian akan ‘tertidur’ kembali.
Karakter ini berbeda dengan gunung berapi lainnya, seperti Merapi atau Sinabung.
Dinamika magma dari kedua gunung tersebut bergerak simultan, artinya erupsi dengan intensitas kecil bisa terjadi dalam waktu yang sering.
Itulah mengapa setiap gunung berapi di Indonesia memiliki stasiun pengamatannya sendiri.
Sudah diperkirakan dari tanda alam
Menurut Nana, proses mitigasi kebencanaan gunung berapi di Indonesia sudah baik, karena Indonesia sudah memiliki peta kawasan rawan bencana yang disusun oleh ahli geologi dan vulkanologi.
Peta yang dibuat tersebut menjadi pedoman lembaga terkait untuk melakukan mitigasi bencana khususnya erupsi gunung berapi.
Pemetaan wilayah-wilayah rawan bencana dalam peta tersebut, termasuk di dalamnya pemukiman yang rawan terdampak serta sungai yang akan menjadi aliran lahar..
Lokasi pengamatan, jalur evakuasi, hingga lokasi pengungsian pun sudah dipetakan dengan baik dalam peta tersebut.
“Dari kejadian erupsi Gunung Semeru kemarin, tampak bahwa peta lokasi yang terkena bencana dapat dikatakan 90 persen tepat,” jelasnya.
Erupsi gunung berapi sudah bisa diprediksi sebelumnya berdasarkan tanda-tanda alam yang muncul, apalagi telah didukung protokol mitigasi yang baik.
Karenanya, informasi erupsi sudah dapat disampaikan ke masyarakat satu jam sebelum letusan berapi.
“Dalam ukuran satu hari atau satu jam sudah termasuk bagus berdasaran kacamata mitigasi bencana. Jadi, erupsi Semeru kemarin bukanlah sesuatu yang terjadi tanpa pemberitahuan,” jelasnya.
Warga di Desa Supit Urang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, pun telah merasakan tanda Gunung Semeru akan meletus.
Menurut warga, sebelum kejadian mereka tidak mendapatkan peringatan dini.
Namun, warga sudah memperkirakan Gunung Semeru akan memuntahkan awan panas, yang diperkirakan berdasarkan pada tanda-tanda alam.
Marsid (50), salah satu warga Desa Supit Urang, mengatakan bahwa empat hari sebelum erupsi biasanya muncul goresan putih.
“Jadi gunung itu tergores lava putih. Nunggu berapa hari lagi pasti terjadi lahar,” kata Marsid ketika ditemui di Desa Supit Urang, Senin.
Lalu, tana alam lain yang menjadi patokan warga adalah aliran air, karena biasanyasesaat awan panas turun dari kawah Gunung Semeru, seluruh aliran air di desa itu menjadi kotor.
“Semua air di daerah sini kotor semua. Setelah ada air kotor pasti turun lahar gitu. Dan hujan terus-menerus. Warga sini sudah tahu (pertandanya),” katanya.
Mengapa itu terjadi?
Aliran air menjadi kotor karena di daerah hulu sudah tercemar oleh abu letusan Gunung Semeru.
Ketika erupsi pada hari Sabtu terjadi, awan panas yang keluar dari Gunung Semeru pun meluncur dengan cepat.
Tak makan waktu lama, hanya dalam kurun waktu dua jam, awan panas itu telah menerjang permukiman warga di Dusun Sumbersari, Desa Supit Urang, Kecamatan Pronojiwo.
“Dua jam sudah lewat (awan panasnya), kejadiannya sudah seperti ini,” jelas Marsid.
Ponidi, warga Dusun Sumbersari, juga menyampaikan hal serupa, disebutnya, aliran air di dusun itu menjadi keruh sebelum aliran lahar lewat.
Nah, ketika warga melihat fenomena alami inilah, mereka sudah mulai waspada.
Ketika erupsi terjadi pada hari Sabtu lalu, warga pun sudah menyadari potensi bencana dari Gunung Semeru, maka mereka pun segera mengevakuasi diri.
Kata Ponidi, “Saya sempat melihat datangnya (awan panas). Waktu itu alirannya masih kecil. Kalau keluarga saya sudah mengungsi. Saya masih di sini melihat datangnya, tapi saya sedia motor buat kabur.”
Turut berdoa untuk warga terdampak bencana Gunung Semeru.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari