Intisari-Online.com - Peristiwa Santa Crus menjadi momen penting bagi gerakan kemerdekaan Timor-Leste.
Ada tiga jurnalis internasional yang menyaksikan dan merekam peristiwa berdarah itu.
Mereka adalah jurnalis Amerika Amy Goodman dan Allan Nairn, serta jurnalis Inggris Max Stahl.
Max Stahl merekam kekerasan tersebut, sementara dua orang lainnya disebut dipukuli habis-habisan oleh militer Indonesia selama bentrokan, seperti dikutip democracyspeaks.org.
Melalui berbagai tantangan, mulai dipukuli hingga ditangkap, mereka akhirnya berhasil menyelundupkan rekaman tersebut ke luar negeri dan membagikan rekaman tersebut kepada masyarakat internasional.
Menyebarluasnya rekaman itu pun memicu kecaman internasional terhadap apa yang terjadi di Timor Leste, yang saat itu bernama Timor Timur, provinsi termuda Indonesia.
Timor Timur berintegrasi dengan Indonesia setelah operasi Seroja dilancarkan pemerintah Indonesia pada Desember 1975.
Tetapi, terus terjadi perlawanan rakyat Timor Leste untuk melepaskan diri dari Indonesia.
Setelah bertahun-tahun melakukan perlawanan, perjuangan kemerdekaan Timor Leste menemui titik balik dengan peristiwa Santa Cruz yang terjadi pada 12 November 1991.
Itu adalah peristiwa di mana militer Indonesia menembak dan membunuh ratusan warga negara Timor di Pemakaman Santa Cruz di Dili, ibukota Timor-Leste.
Para korban adalah penduduk Timor Timur yang tengah mengikuti unjuk rasa dan prosesi peringatan untuk menghormati Sebastio Gomez, seorang pemuda pro-kemerdekaan.
Sebastio Gomez dibunuh oleh militer Indonesia di dekat Gereja Katolik Motael.
Pada akhirnya, Komisi PBB untuk Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi memperkirakan bahwa pendudukan Indonesia bertanggung jawab atas lebih dari 102.000 kematian orang Timor terkait konflik.
Namun, banyak ahli percaya jumlahnya jauh lebih tinggi.
Peristiwa itu pun mendorong dukungan dari masyarakat internasional untuk kemerdekaan Timor-Leste.
Menceritakan suasana mencekam peristiwa Santa Cruz, seorang anggota staf lama Internasional Republican Institute (IRI) sekaligus warga negara Timor, Karlito Nunes, menceritakan dari sudut pandangnya sebagai seorang remaja kala itu, dilansirdemocracyspeaks.org.
"Ketika pembantaian itu terjadi, saya duduk di bangku sekolah menengah di Saint Paul, tidak jauh dari Santa Cruz," katanya.
Nunes menceritakan bahwa ketika pembantaian dimulai, ia mendengar suara tembakan.
Ia dan teman-teman sekelasnya pun panik dan berlari keluar kelas.
"(saat keluar kelas) Kami melihat banyak tentara Indonesia dengan peralatan militer berat di sekitar depan kompleks sekolah," ungkapnya.
"Beberapa teman kami dari sekolah ini terlibat langsung dalam kejadian tersebut.
"Orang tua dan keluarga siswa datang ke sekolah untuk menjemput anak-anak mereka karena situasi tersebut menyebabkan kepanikan di Dili dan di seluruh negeri," katanya.
Ia juga mengatakan, ketika itu militer Indonesia tidak mengizinkan siswa atau orang-orang umum untuk belajar atau berbicara bahasa Inggris.
"Berbicara bahasa Inggris akan memungkinkan kami untuk membangun jaringan dengan komunitas internasional dan berkomunikasi dengan orang asing tentang pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Timor-Leste," kata Nunes.
Menurutnya, setelah pembantaian Santa Cruz terjadi, orang-orang tak berani keluar rumah.
"Militer Indonesia menjadi sangat berbahaya dan brutal. Militer mulai mencari orang-orang muda, terutama laki-laki dan anak laki-laki,"
"Orang-orang sangat takut untuk meninggalkan rumah mereka dan banyak dari kami tinggal di dalam rumah selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan," ungkapnya.
Kini, peristiwa Santa Cruz terus diperingati oleh rakyat Timor Leste, pemakaman Santa Cruz pun menjadi salah satu landmark yang dimiliki negara ini.
Sekitar sembilan tahun usai tragedi Santa Cruz terjadi, rakyat Timor Leste akhirnya mendapat kesempatan untuk menentukan nasib sendiri.
Diselenggarakan referendum Timor Timur pada 30 Agustus 1999.
Ketika itu, Indonesia dipimpin Presiden Habibie setelah Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
Hasil referendum tersebut membuat Timor Leste lepas dari Indonesia, dan 3 tahun kemudian Timor Leste resmi diakui internasional sebagai negara sendiri.
(*)