Intisari-online.com - Invasi Indonesia ke Timor Timur (Timor Leste), memang menyimpan banyak misteri.
Selain kisah-kisah keberanian dari para prajurit militer Indonesia, tersimpan kisah kelam di balik invasi yang konon melanggr hak asasi manusia tersebut.
Kejahatan perang dilakukan Indonesia, untuk mencaplok wilayah yang berbatasan dengan Australia tersebut.
Bahkan upaya militer yang dilakukan Indonesia disebut menewaskan setidaknya 200ribu penduduk Timor Leste.
Bahkan beberapa fakta tentang invasi ini terus disembunyikan dari publik.
Seperti dikutip dalam jurnal "East Timor: A People Shattered By Lies and Silence" yang ditulis oleh Prof. Antonio Barbedo de Magelhaes, dari Oporto University, Portugal.
Banyak pembungkaman untuk menutupi invasi tersebut di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Bahkan,pembunuhan di Balibo oleh pasukan reguler Angkatan Darat Indonesia, pada tanggal 16 Oktober 1975.
Terhadap lima wartawan, dua orang Australia, dua orang Inggris dan satu orang Selandia Baru, diterima oleh Pemerintah negara-negara tersebut tanpa protes resmi.
Para wartawan merekam serangan itu, dari gudang sebuah rumah yang dinding luarnyatelah diberi tanda bendera Australia sebagai tindakan pencegahan.
Tidak ada gunanya menunjukkan kamera dan bendera.
Justru karena mereka diidentifikasi sebagai jurnalis, mereka kemudian disingkirkan dengan dingin.
Untuk membenarkan kematian mereka, tentara Indonesia mengenakan seragam militer Portugis dan membuat keributan dengan para wartawan berdiri di dekat senapan mesin.
Tetapi foto-foto itu mungkin tidak terlalu meyakinkan karena tidak pernah digunakan secara internasional.
Lima wartawan dibunuh:
dua orang Australia:
- Greg Shackleton, 27 tahun, dan- Tony Stewart, 21 tahun.
dua orang Inggris:
- Malcom Renie, 28 tahun, dan- Brian Peters, 29 tahun.
seorang Selandia Baru:- Gary Cunningham, 27 tahun.
Gambar-gambar yang mereka rekam akan membongkar propaganda Indonesia yang menampilkan konflik sebagai perang saudara di antara faksi-faksi Timor.
Mungkin gambar-gambar itu, jika dilihat di Australia dan negara-negara lain, akan membuat beberapa pemerintah menarik dukungannya ke Indonesia.
Atau,gambar-gambar itu bahkan sudah cukup untuk mencegah holocaust.
Tidak lama sebelum peristiwa ini, pada 14 Oktober, CIA Amerika memberi tahu para perwira utama Amerika bahwa "Unit Indonesia akan menyerang kota Maliana."
Pasukan yang berpartisipasi dalam operasi akan mengenakan seragam tanpa lencana dan harus membawa senapan yang lebih tua, buatan soviet.
Tujuan menggunakan senjataini agartidak dikenali sebagai orang Indonesia.
Pada hari yang sama dengan pembunuhan, melalui penyadapan komunikasi radio antara divisi militer Indonesia yang berbeda, dinas intelijen Australia, Inggris dan Amerika diberitahu bahwa para jurnalis telah dibunuh secara jelas oleh militer Indonesia.
Wartawan merekam serangan yang melibatkan kapal perang, helikopter, dan artileri berat Indonesia.
Pemerintah-pemerintah ini berpura-pura percaya pada versi Indonesia yang mempertahankan gagasan bahwa kematian itu disebabkan oleh kecelakaan selama baku tembak antara faksi-faksi Timor yang berbeda.
Duta Besar Australia di Jakarta, Woolcot, cukup jelas dalam sebuah telegram beberapa hari kemudian yang ia kirimkan kepada Pemerintahnya:
"Meskipun kita tahu itu tidak benar, sikap formal pemerintah Indonesia adalah tidak ada intervensi militer Indonesia di Timor Timur. Jika Menteri mengatakan atau menyiratkan di depan umum bahwa Pemerintah Indonesia berbohong, kita bisa mengundang reaksi sakit hati dan marah."
Karena invasi ke Timor Timur juga merupakan invasiAustralia, maka demi kepentingan Australia, pemerintah Camberra juga menghormati saran Duta Besarnya, dan berpura-pura percaya pada fakta versi Indonesia.
Perilaku serupa dilakukan oleh pemerintah Inggris, Amerika, dan Selandia Baru.
Pada tanggal 7 Desember masih ada wartawan asing terakhir di Timor Timur, Roger East dari Australia.
Dia ditangkap oleh pasukan Indonesia ketika dia mencoba untuk mengirim pesan kepada dunia tentang invasi yang dia saksikan.
Tetapi dia ditembak pada hari yang sama, sekali lagi tidak ada protes resmi.
Dengan kerjasama dari pemerintah Australia, Inggris dan lainnya, sebuah batu keheningan ditempatkan di Timor Leste.