Intisari - Online.com -Presiden Indonesia Joko Widodo dikenal sebagai sosok yang meminta semua bergerak cepat dan sering menciptakan target yang tidak masuk akal.
Pada kenyataannya, keputusan Jokowi sering terasa terburu-buru, seperti mengutip editorial ekuatorial.com.
Jokowi memiliki reputasi menyiapkan target ambisius dalam jangka waktu yang sedikit, contohnya, pada masa jabatan pertama Jokowi yang berakhir tahun 2019 lalu, pemerintahannya bertekad menghapus mafia minyak dan gas tahun 2015, menyelesaikan tujuh kasus pelanggaran HAM tahun 2016, mencapai pertumbuhan ekonomi 7% tahun 2017, memiliki saham mayoritas di PT Freeport Indonesia tahun 2018 dan menyelesaikan membangun pembangkit listrik senilai 35 gigawatt (GW) tahun 2019.
Dari 5 contoh itu, Freeport hanyalah satu-satunya yang berhasil.
Kebiasaan Jokowi menciptakan target di atas langit dinilai banyak pakar telah menciptakan banyak kekacauan untuk Indonesia, termasuk sektor energi.
Ekuatorial.com menjelaskan contoh lainnya adalah pertumbuhan ekonomi, dengan mendorong industri domestik, Jokowi ingin ekonomi Indonesia tumbuh 5.8% dan 6.6% selama 2 tahun pertamanya menjabat, dan 7.1%, 7.5% dan 8% dalam 3 tahun terakhir, menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasuonal (RPJMN).
Konsekuensinya, konsumsi listrik tahunan per kapita juga naik, rata-rata meningkat 7.3% tiap tahunnya dalam masa jabatan yang sama.
Mengantisipasi hal ini, Jokowi pada 4 Mei 2015 dulu meluncurkan program listrik 35 GW, yang menyerukan 25 GW datang dari pembangkit listrik bertenaga batubara.
Perkiraan mendapatkan jika PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mendapatkan tambahan 100 juta ton batubara setahunnya untuk pembangkit listrik baru.
Berdasarkan perhitungan Administrasi Informasi Energi AS (EIA), setiap juta ton batubara terbakar melepaskan 2.86 juta sampai 3.1 juta ton karbon dioksida, artinya rencana pembangkit listrik Jokowi akan melepaskan tambahan 300 juta ton karbon dioksida setiap tahun.
Perkiraan peningkatan penggunaan listrik lokal dan konsumsi batubara memimpin pemerintah untuk mengulas bisnis jangka panjang batubara Indonesia.
Sebagian besar batubara yang ditambang di Indonesia lari diekspor, membuat pemerintah mulai menyimpan suplai untuk penggunaan lokal di masa depan.
Akhirnya pemerintah sampai pada rencana produksi tahunan batubara Indonesia pada 400 juta ton dan secara bertahap mengurangi ekspor sejak 2019, bertujuan mengurangi ekspor jika konsumsi mencapai tingkat tertinggi.
Karena komitmen Indonesia atas batubara tumbuh lebih kuat, Jokowi terus-terusan menginginkan Indonesia untuk berkontribusi pada upaya global menghentikan perubahan iklim.
Indonesia mulai meratifikasi Kesepakatan Paris, perjanjian internasional yang dimulai sejak 2015 dengan sasaran membatasi pemanasan global sampai 1.5 sampai 2 derajat Celcius.
Jokowi menginginkan Indonesia memotong emisi gas rumah kaca tahun 2030 dalam sektor energi sebanyak 29% secara independen, atau 41% dengan bantuan internasional, dari tingkat yang tercatat tahun 2010.
Untuk melakukan hal itu, ia berencana meningkatkan porsi energi baru dan terbarukan dalam energi nasional dari 5% tahun 2015 mencapai 23% tahun 20125 dan kemudian 25% tahun 2030.
Untuk memastikannya, Indonesia adalah negara yang kaya dalam sumber energi bersih.
Potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 442 GW, menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Energi surya menjadi kontributor terbesar, mencapai 207.9 GW.
Namun Indonesia kesulitan mendapatkan hasil dari sumber daya terbarukan ini, alih-alih menjadikan nyata janji menjadi produsen energi bersih, Indonesia malah menjadi penghasil emisi karbon terbesar.
Tahun 2015, Indonesia membangun pembangkit listrik berkapasitas 55.5 GW, 49% datang dari batubara dan 12% dari sumber daya terbarukan.
Saat itu, sektor energi menyumbang 22.6% dari emisi gas rumah kaca tahunan Indonesia dari 2.37 miliar ton setara karbon dioksida, menurut Kementerian Lingkungan dan Kehutanan.
Sumber emisi terbesar adalah kebakaran gambut (33.8%) dan kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (32.3%).
"Sebagai negara hutan hujan tropis terbesar, yang menjadi paru-paru Bumi, Indonesia telah memilih menjadi bagian dari solusi (krisis iklim)," ujar Jokowi dalam pertemuan PBB Konferensi Perubahan Iklim (COP21) di Paris, Perancis, 30 November 2015, tujuh bulan setelah ia meluncurkan program listrik 35 GW.
Ambisi Jokowi disinyalir ekuatorial.com menjadi dasar kebijakan energi nasional jangka panjang pemerintah.
Tahun 2017, Indonesia memperkenalkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), yang menjadi kebutuhan energi negara sampai 2050.
Proyeksi RUEN berdasarkan pada beberapa asumsi kunci mengenai pertumbuhan ekonomi, peningkatan populasi, potensi energi terbarukan, dan memproyeksi konsumsi listrik.
Hal ini memperkirakan jika kapasitas pembangkit listrik baru dan terbarukan Indonesia akan meloncat dari 8.6 GW tahun 2015 menuju 45.2 GW tahun 20125 dan 69.7 GW tahun 2030.
Antara 2015 dan 2019, pertumbuhan ekonomi Indonesia kira-kira 5,03%, jauh dari 7% yang diproyeksikan, sementara konsumsi listrik tahunan per kapita tumbuh 4.3%, jauh di bawah estimasi awal 7.3%.
Akhir tahun 2019, kapasitas pembangkit listrik total yang dibangun Indonesia adalah 69.6 GW, termasuk 42.3 GW dari PLN.
Tahun yang sama, pasokan listrik nasional adalah 278.5 terawatt jam (TWh), dengan konsumsi listrik yaitu 289.3 TWh.
Program 35 GW ketinggalan, sampai 2019, hanya 14% pembangkit listrik tertutupi oleh program ini telah memulai operasi komersial, 62% sedang dalam konstruksi, kontrak sebesar 20% telah diberikan dan sisanya masih dalam tahap perencanaan dan pengadaan.
Progress lambat hanya menunda yang tidak terhindarkan: kelebihan pasokan listrik yang besar.
Sejak konsumsi di bawah perkiraan, pembangkit listrik baru dari program 35 GW akan menggelembungkan margin cadangan PLN dan meningkatkan biaya generasi listriknya.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini